Sunday, March 31, 2013

Contac Us

LUKKNI MAULANA
Dapat dihubungi di:

Alamat: 
SCIENA MADANI - Pesantren Cinta dan Karya
Jl. H Abdul Rasyid Banjardowo Genuk Semarang 50117.

Telp/SMS:
085 712 631 457

Email:
luknima@gmail.com

Weblog:
www.lukni.blogspot.com 

Fanspage:
www.facebook.com/luknima
Membeli Nikmat Tuhan

Membeli Nikmat Tuhan

KETIKA saya berbicara kenikmatan, sesungguhnya saya tidak menginginkan ada segumpal daging yang memilki sifat kesombongan. Maka dari itu saya bicara keumuman apa yang diharapkan oleh manusia untuk selalu mendapatkan kenikmatan. Oleh sebab itu banyak manusia mengejar kenikmatan, sehingga kenikmatan menjadi singasana yang harus di cari dan di duduki. Kursi singasana itu manusia bisa menjadi pegawai negeri, dokter, polisi, wirausaha maupun menjadi buruh.

Bahkan untuk menduduki kursi tersebut manusia bisa bekerja lebih keras lagi dengan melakukan kerja tambahan seperti lembur kerja maupun mengisi waktunya dengan bekerja bidang lain.  Namun yang perlu dihindari dari ketidakpuasaan jika manusia berbuat tidak sesuai dengan aturan kehidupan yakni dengan cara korupsi ataupun mencuri yang bukan haknya.

Dengan bekerja saya akan mendapatkan apa namanya “gaji atau pendapatan”.

Sedangkan dari gaji tersebut manusia bisa menikmati kenikmatan. Gaji materi tersebut ia bisa membeli apapun yang ia suka, untuk memenuhi dasar hidupnya. Sandal dan sepatu untuk kaki, kaca mata untuk mata, bedak make up untuk wajah, pakaian untuk menutupi diri dll.

Oleh sebab saya mengatakan bahwa itulah sebagian dari kenikmatan, selain kenikmatan yang ada dalam pikiranku ini. Saya tidak memandang kenikmatan alam semesta ini tanpa mata, saya tidak bisa bicara dan ngoborl tanpa adanya mulut. Saya tidak bisa mendengarkan lantunan musik tanpa adanya telinga dan lain sebagainya yang melekat pada diri kita; tangan, hidung, otak, kepada dll.

Jadi jika saya mendapatkan gaji besar di kantor, ternyata saya tidak bisa membeli apa yang melekat pada diri saya.

Sebab gaji yang saya dapatkan dari bekerja tak lain hanyalah peran dari apa yang melekat pada diriku ini; mata, telinga, tangan, kaki, pikiran dan lain sebagainya.

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152)
Sampah Pengajian

Sampah Pengajian

BANGSA Indonesia patut bersyukur melihat masyarakatnya gemar kumpul-kumpul dalam satu lingkaran jamaah hingga larut malam bahkan sampai pagi. Tidak ada bangsa di dunia ini yang bisa bertahan dan kuat membuka mata, kecuali bangsa Indonesia.

Berkumpul dalam satu jamaah menggambarkan suatu kebudayaan, salah satunya jamaah pengajian. Hal ini memiliki ciri dan keunikan tersendiri yakni lingkaran jamaah. Seperti jamaah yang bersarung, berpakaian putih-putih maupun ala kadarnya. Para jamaah bisa bertahan sampai pagi mendengarkan ceramah para kiai atau pembicara. Artinya sangat jelas, seharusnya selain para jamaah bisa membuka mata tentu bisa membuka hati.

Namun alangkah ironisnya mereka hanya bisa membuka mata, tanpa bisa membuka hati. Intinya ketika para jamaah mendapatkan siraman ruhani seharusnya melekat pada diri akan tetapi justru hanya sampai di mata saja. Hal ini dapat dilihat dari perilaku setelah meninggalkan acara pengajian atau kumpul-kumpul.

Bangsa ini memiliki nilai kesalehan pribadi yang luar biasa, dalam hal kesalehan sosial inilah yang menjadikan ilmu hanya sampai pada mata tidak tertanam pada hati. Setelah keluar dari arena jamaah; sampah plastik menyebar kemana-mana, kertas-kertas berserakan di mana-mana dan jelasnya sampah selalu ada berserakan.

Mereka berfikir bahwa ilmu sudah tertanam dalam hati, persoalan sampah hanya sebatas lahiriah yang nampak dan dapat seketika dibersihkan oleh pihak penyelenggara atau panitia.

Sesungguhnya ilmu yang katanya tertanam dalam hati, hanya sebatas mata.

Sesungguhnya Allah Swt itu suci yang menyukai hal-hal yang suci, Dia Maha Bersih yang menyukai kebersihan, Dia Mahamulia yang menyukai kemuliaan, Dia Maha Indah yang menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah tempat-tempatmu” (HR. Tirmizi)
Amalan dan Jimat

Amalan dan Jimat

WAKTU sudah menunjukan untuk mata kuliah Pendidikan Agama Islam, Pak Muh segera masuk ruang kuliah. Dilihatnya para mahasiswa yang haus akan ilmu pengetahuan, ia hanya bisa tersenyum dan berharap kelak mahasiswa yang ia ajar menjadi orang yang ilmunya bermanfaat hingga mengantarkannya menjadi orang sukses.

Selang beberapa waktu, ada salah satu mahasiswa mempertanyakan tentang hukum menggunakan amalan, hizb ataupun jimat. Pak Muh sadar betul bahwa mahasiswa tersebut berkeinginan untuk memperdalam diluar kebanyakan orang modern.

Jika masyarakat Jawa, ketika memiliki anak kecil yang belum cukup umur, orang dahulu selalu memakaikan kalung yang berisikan tulisan-tulisan Al-Qur’an. Mereka meyakini dengan memakai jimat tersebut, si anak akan terhindar dari bahaya dan malapetaka. Begitu juga dengan rumah-rumah yang terkadang kita melihat tulisan-tulisan arab menempel di atas pintu masuk rumah. Hal ini juga di yakini untuk mengusir bentuk-bentuk kejahatan dan terlindung dari malapetaka.

Apakah di era modern ini masih mempercayai hal itu, bisa jadi hal itu dianggap tidak rasionalis. Sebab era modern cenderung berparadigma positivistik yang berpandangan segala sesuatu harus rasionalis dan empiris. Ataukan hal tersebut di anggap bidah, segala amalan yang tidak ada pada zaman rasul.

“Alam semesta memiliki energi dan energi menghasilakan kekuatan,” jawab Pak Muh.

Mahasiswa merasa senang mendapatkan jawaban singkat tersebut. Karena ia mendapatkan restu untuk mengamalkan apa yang ia kehendaki dan memakai jimat supaya mendapatkan keberkahan hidup.

Amalan doa, zikir, hizib maupun memakai jimat merupakan bentuk usaha ikhtiar seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa yang bertujuan untuk mendapatkan ketenangan, perlindungan maupun terhindar dari marabahaya.

Tentu bentuk amalan dan jimat itu tidak mengandung unsur kesyirikan; “Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik.” (HR Ahmad).

Alam itu memiliki energi, baik itu air, matahari maupun udara yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan kekuatan. Begitu juga dengan amalan yang datang dari pencipta alam semesta berupa wahyu yang diturunkan kepada Rasul Muhammad yakni Al-Qur’an.

“Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ''Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan.” (HR. Muslim)

Semarang, 03/10/12

Aku Cinta Dia

Aku Cinta Dia

HATI siapa yang tidak ingin jatuh cinta kepada sesama, sebab kita di karuniai rasa suka kepada orang lain. Rasa ketertarikan tersebut menimbulkan beragam ekspresi. Ketika bertemu dengan pujaan hati jatung berdebar kencang, grogi dalam berbicara atau bahkan menghindar.

Ahmad mengalami hal tersebut, ia lagi di mabuk cinta dengan gadis bunga desa. Sekian lama ia berusaha untuk mendapatkaanya, akhirnya ia memiliki gadis bunga desa tersebut. Perasaannya begitu gembira dan bahagia. Di setiap waktu selalu selalu yang terfikir hanya pujaan hatinya.

Selang berapa waktu perjalanan cintanya, ia berkeinginan untuk menikahi gadis tersebut. Syukur Alhamdulillah gadis bunga tersebut menerima Ahmad untuk meminangnya. Akan tetapi Ahmad diberi satu syarat. Karena keinginannya yang mengebu, ia tanyakan syarat itu. Syarat tersebut, ia harus sudah bekerja dan mandiri secara financial.

Sedangkan penghasilan Ahmad hanya pas untuk kehidupan sehari-harinya, sebab ia memiliki beban tanggungan adik-adiknya. Karena kebingungan tersebut, ia selangkan waktu untuk berkonsultasi kepada Pak Muh.

“Hanya ada tiga jawaban. Putus, Cari pacar cadangan dan mempertahankannya.” Kata Pak Muh

Ahmad semakin kebingungan atas jawaban tersebut, ia di hadapkan pilihan. Sedangkan ia sangat mencintainya. Tentu saja Ahmad memilih untuk mempertahankannya. Lalu Pak Muh memberikan keterangan atas jawaban Ahmad.

“Cinta itu seperti kayu yang dipahat. Pemahat hanya memiliki sketsa gambar atas kayu tersebut, sehingga kayu terbentuk menjadi suatu barang yang bernilai”.

Ahmad mendapatkan beberapa pencerahan, dalam hatinya ia memikirkan tentang rasa cinta. Jika aku mempertahankan cinta itu, maka aku telah menjadi orang lain dan cinta itu sesuatu yang nampak baik berupa, kerja, mandiri, harta dll. Sedangkan Pak Muh menerangkan cinta itu bukan kayu tapi hasil dari kayu itu.

Sungguh cinta sejati oleh sebab cinta-Nya, dalam sebuah proses berkelanjutan seperti kayu yang ingin kita bentuk menjadi barang bernilai. Maka jalani cinta antar sesama dengan tidak melihat sesuatu yang nampak.

Dua orang saling mencintai (karena Allah) maka yang paling baik di antara keduanya adalah yang paling kuat cintanya kepada temannya”. (HR. Bukhari)

Semarang, 23/09/12
Akan Di Lebihkan

Akan Di Lebihkan

PAK Muh di amanahi untuk menjabat takmir Masjid dikampungnya, harus memikul beban tanggung jawab pembangunan masjid. Karena tidak ada kotak amal, maka biyaya harus dari swadaya masyarakat maupun pemerintah. Sedangkan pembangunan menelan anggaran biyaya sepuluh juta lebih.

Suatu ketika Pak Muh mendapatkan dana bantuan dari pemerintah provinsi. Dana itu cair seratus persen tanpa potongan sebesar lima juta. Lalu datang salah suatu warga yang hendak meminjam uang dari dana masjid tersebut.

Pak Muh memperbolehkan uang itu di pinjam asalkan ia meminta izin ke seluruh takmir dan ketua RT. Akhirnya uang itu cair dipinjam sebesar empat juta. Ternyata uang yang akan di pinjam tak kunjung dikembalikan. Pembangunan masjidpun terbengkalai.

Walaupun begitu Pak Muh tetap santai, meskipun sebenarnya ia juga tidak punya uang sebesar itu. Ahmad menghampiri ia dan menanyakan tentang pembangunan masjid.

“Uang di pinjam, tak kunjung dikembalikan. Bagiamana ini Pak Muh?” tanya Ahmad.

“Pembangunan akan tetap berjalan,” jawab Pak Muh singkat.

“Terus dananya dari mana?” Ahmad penasaran. Barangkali Pak Muh punya uang banyak, pikir Ahmad

“Aku tidak bisa mengantinya. Jika kita memberi satu maka Allah akan mengantinya lebih,” terang Pak Muh.

Selang beberapa hari Pak Muh mendapatkan surat dari Pemerintah Provinsi. Menerangkan bahwa masjid yang ia pimpin mendapatkan dana hibah sebesar sepuluh juta rupiah. Dalam hatinya yang penuh terima kasih ia berkata, “Allah benar-benar menepati janjinya. Siapa yang mau berusaha memberi satu, maka Ia akan memberikan lebih”. Kini pembangunan masjidpun berjalan lancar dari dana swadaya dari Pemerintah dan warga.

Semarang, 14/09/12