Monday, September 29, 2014

Badai Puisi di Dusun Candi Pekunden Magelang

Badai Puisi di Dusun Candi Magelang - 28 September 2014
MBAK VEGA ZR menemaniku dalam perjalanan menuju kota Magelang untuk menghadiri acara yang digagas oleh sastrawan Daladi Ahmad dan Dedet Setiadi. Acara yang bertajuk Badai Puisi di Dusun Candi.

Tepat pukul 06.30 Wib mulai meluncur dari rumah, dalam benakku perjalanan kira-kira menghabiskan waktu 2,5 jam. Namun ternyata sampai disana jam 09.45 Wib, jadi hampir 3,5 jam..oh tidak sesuai dengan perkiraan ternyata tempat acara yang terletak di Dusun Candi Pekunden Ngeluwar ini dekat dengan Kota Yogyakarta.

Ditempat acara banyak bertemu para penyari, sastrawan dan budayawan luar kota baik dari Yogyakarta, Purworejo, Wonosobo, Tegal, Brebes, Tulungagung, Kudus. Sebet saja diantaranya yakni Nung Bonham, Dimas Indiana Senja, Slamet Riyadi Sabrawi, Ons Untoro, Umi Kulsum, Bontot Sukandar, Bambang Eka Prasetya, Sri Kanti Kupu Hitam, Inty Ruqoyyah Basyuni, Tosa Santosa, Syam Chandra, Ardi usasnti, Dwiery Santoso, Jhosua Igho, Deha Abidar, Bethoven Bayu Belantara dll.


Semarang, 28 September 2014

Wednesday, September 17, 2014

Pasar Modern Etika Robotik

Pasar Modern Etika Robotik

ISTRI KIAI Cungkring yang kebetulan seorang guru taman kanak-kanak menceritakan bahwa anak-anak didiknya baru saja melaksanakan field trip atau kunjungan. Super market menjadi tempat kunjugannya, ia mengatakan hal ini untuk mengajarkan anak memiliki keberanian dan melakukan transasi jual beli.

Kiai Cungkring hanya bisa sedikit tersenyum, di era modern sekarang ini kemunculan pasar modern seperti hypermarket, Super Market, Alfa Mart, Indomart dan mini market sejenisnya merupakan sebuah konskwensi zaman. Yang perlu menjadi penekanan adalah apakah akan mengancam kelangsungan hidup pasar tradisional. Tidak dapat dipungkiri, yang pastinya memberikan dampak terhadap geliat ekonomi di pasar-pasar tradisional.

Namun ini bukan hanya persolan ekonomi, bagaimana mengajarkan anak melalui pola interaksi dan komunikasi serta menghargai ekonomi kerakyatan jika sejak usia anak-anak saja mereka sudah dididik semacam itu.

Apa enaknya belanja di pasar modern, model transaksinya telah di komputerisasi, pembeli seperti robot, miskin transaksi, bahkan penjaga atau penjualnya barangkali penuh dengan senyum kepalsuan dan make up penuh penipuan. Apa lagi jika ditambah SPG (Sales Promotion Girls) tambah semakin semangat nih mata untuk memandangnya.

Aneh juga kan kita berusaha menjadi manusia yang dikonstruksi untuk menjadi ,manusia etika robotik. Kiai Cungkring jadi ingat masa kecilnya, waktu kecil dahulu sering mengantar ibunya ke pasar. Disitu ia melihat interaksi kemanusiaan, tidak ada kepalsuan dan kepura-puraan, senyum dan sapa yang akrab, canda, tawa dan tawar menawar yang penuh dengan sopan santun. Etika saling interaksi dan komunikasi menjadi wadah etika kemanusiaan yang termanifestasik
an di pasar tradisional.

“Yen pasar ilang kumandange...,” ucap kanjeng Sunan Kalijaga

Apa maksudnya? “Jika pasar sudah mulai sepi atau hening.” Jika para pedagang sudah kehilangan pola interasi, tawar menawar, kenal mengenal dan hubungan komunikasi dua arah. Seiring banyaknya pasar modern berbintang tujuh yang berdiri megah. Sesungguhnya pasar terdahulu mengajarkan sistem tawar menawar yakni sesuai dengan syariat (Ijab dan Qabul). Pola tawar menawar dikeramaian pasar tradisioanl itu seperti kerumunan suara Lebah yang mendengung.

“Seperti daun yang jatuh, ia terbawa angin namun ia tidak akan jauh dari pohonnya,” tutur Kiai Cungkring

Angin telah mengantarkan kita pada zaman modern, penuh dengan gegap gempita ekonomi etika robotik. Meski demikian kita masih memiliki keyakinan bahwantanggung jawablah yang membangun masa depan.

Sunday, September 7, 2014

Lepet; Ngaku Lepat


Nasya dan Ibu Jalan Sehat

SETIAP KALI Bakda Kupat atau hari raya ketupat, Kiai Cungkring selain membuat ketupat selalu dibarengi dengan membuat Lepet. Lepet merupakan makanan khas yang dibuat dari Ketan dan dibungkus dengan daun muda dari pohon kelapa atau yang dikenal dengan sebutan janur yang berwarna kuning.

Bahkan daun janur yang berwarna kuning itu memiliki makna, janur ada yang mengatakan dalam bahasa Arab, “Ja’a Nur (datangnya cahaya) dan “Janatun Nur (cahaya surga). Janur sebagai simbol kebahagiaan dan kecerahan yang berwarna kuning karena disitu datangnya cahaya dan disitulah surga.

Janur kuning sebagai simbol kebahagiaan merupakan ciri khas masyarakat jawa, tidak heran jika ada acara seperti khitanan, pernikahan ataupun perayaan kebahagiaan selalu menggunakan janur kuning sebagai penghias tempat acara.

Lepet yang terbuat dari janur kuning itu berbentuk memanjang yang diidentikankan dengan makna “Shiratal Mustaqim” atau jalan lurus. Maka seseorang lurus dan tegak dalam menjalankan peran Abdullah (hamba Allah) dan Khalifah (Pemimpin dibumi). Pada saatnya nanti di akhirat setiap manusia diperintahkan melewati jembatan shiratal mustaqim, jembatan menuju surga.

Lepet yang telah diisi ketan dan dibungkus dengan janur kuning lalu akan diikat dengan 3 tali, tali terbut biasanya terbuat dari bambu.  Tali yang berjumlah 3 tesebut memiliki makna simbol yakni Iman, Ilmu dan Amal. Sedangkan bambu merupakan pohon yang menjulang tinggi memiliki maksud hablum minallah (hubungan dengan Allah) dan akarnya yang kuat sebagai hablum minannas (hubungan dengan manusia)

“Mengakui kesalahan adalah kesejatian, dan kesejatian hidup adalah mencintai-Nya,” tutur Kiai Cungkring

Semarang, 04/08/2014

Masyarakat Suka Panik


Konser Selendang Biru di RRI Semarang

MASYARAKAT kita itu tergolong manusia yang memiliki jenis keunikan tersendiri, salah satunya soal “kepanikan”. Tapi ini bukan persoalan kepanikan Tim Ekonomi Jokowi soal pemotongan anggaran subsidi energy (BBM).

Namun soal kenaikan harga bensin bersubsidi (premium), memang rasa panik terjadi kapan saja dan di mana saja. Bahkan masyarakat kita tergolong manusia panik yang super luar biasa. Biasanya rasa panik diiringi dengan bahasa tubuh seperti keringat dingin, ketakutan, gemetar maupun serba bingung sendiri. Namun demikian, tidak bagi masyarakat kita mereka tetap enjoy dan nyaman mengantri bensin meski menunggu lama.

Bisa jadi keuntungan tersendiri bagi penjual eceran, dan bahkan masyarakat kita pandai soal timbun menimbun barang. Lumayan kan jika harga naik, keuntungan akan berlipat.
                                       
Bagi kalangan masyarakat umum, sangat menikmati antrian di pom bensin. Sebab mereka tahu, hal ini sudah menjadi kebiasaan jadi tidak perlu hari saling memaki, menghujat atau bahkan berdemontrasi. Apa lagi harus mengkritik pemerintah oleh karena minyak dikuasai asing, justru pemerintah akan panik jika pihak asing lari dari bangsa ini.

Barangkali masyarakat kita menerapkan kaidah fiqiyah yang berbunyi, “almasyaqqatu tajlibu taisiru (Kesukaran itu dapat menarik kemudahan).” Meski kesulitan memperoleh bensin dan harus mengantri lama, hal ini menjadi awal dibukakannya kemudahan

Maaf ini lagi ingat soal pitutur, “Eling lan Waspodo”. Eling sesuk bensin mundak, waspodo ben keduman. Hidup itu laksana ngantri bensin, namun kebanyakan diri kita lupa bahwa kita sibuk memikir dunia. Bahwa kita tidak tahu kapan minyak itu akan habis.

Semarang, 26/08/2014

Belajar Menjadi Bodoh


Nasya dan Bening di Gereja Blenduk

PENGINAAN menjadi corong kehormatan, maka kita harus bangga jika dihina sebab bangsa ini selalu bangga untuk dihina. Bahkan penghinaan itu menjadi bentuk penghormatan, semisal penyanyi muda popular Justin Bieber yang mengatakan, “Indonesia sebagai Negara yang tidak penting”. Negara tetangga Australia juga pernah menghina bangsa ini, melalui cara penyadaban, belum lagi Malaysia yang juga sering menghina bangsa ini semisal suka mencaplok pulau, atau bahkan menghina lagu bangsa Indonesia tercinta ini.

Namun demikian bangsa Indonesia menerimas dengan ucapan rasa syukur yang luar biasa, karena hal ini menjadi rahmat dan berkah. Katanya, “Orang yang dhina, doanya terkabulkan.”

Ini bukan Negara yang lucu, semisal soal kebijakan Tes Keperawanan sebagai bentuk penghinaan martabat perempuan. Namun hanya soal penghormatan saja.

Aneh jika kiranya seorang mahasiswa Florence Sihombing yang dituduh menghina dan mencemarkan nama baik warga Yogyakarta melalui akun jejaring sosialnya Path. Lha kok tersingung ketika persoalan sudah membumi dan menjadi buah bibir. Ingin bicara soal nama baik, ya..ya, nama itu adalah sebuah doa makanya selalu memberikan nama yang baik. Namun jika kiranya mencemarkan nama baik, barangkali memang sudah tercemar atau bahkan itu menjadi kritik dan saran supaya menjadi lebih baik.

Soal semacam ini sering dilakukan oleh sastrawan, dengan puisi ia mengkritik. Semisal;
Banyak ruang, banyak AC
Banyak uang, banyak ACC
Akibatnya rakyat kebanjiran air dan longsoran
Pejabat kebanjiran uang dan sogokan
(Remy Silado)

Melalui puisi mbeling mencoba membangkitkan bangsa ini, salah satunya puisi yang berjudul Ramalan Cuasa
Singapura berawan
Malaysia gerimis
Filipina hujan deras
India gempa bumi
Saudi Arabia hawa panas
Alaska hawa dingin
Indonesia hawa nafsu

Kita mencoba belajar menjadi bodoh dari persolan “Penghinaan”. Lalu Kiai Cungkring berkisah tentang akhlak Rasulullah Muhamamd.

Suatu ketika Abu Bakar bertanya kepada anaknya, Aisyah ra. yang juga merupakan istri Rasulullah saw. Ia bertanya;

”Wahai anakku, apa kira kira amal yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw ketika masih hidup tapi belum aku kerjakan?”

Aisyah r.a. menjawab, “Rasulullah saw selalu memberi makan kepada seorang Yahudi buta di pojok sudut pasar”.

Maka Abu Bakar menemui perempuan renta yang terduduk di sudut pasar tanpa ada siapapun yang mempedulikannya.

Abu Bakar mendekatinya, lalu dikeluarkannya sepotong roti untuk diberikan kepadanya. Namun perempuan buta itu terus mengoceh persoalan keburukan Rasulullah Saw. Ia menghina Rasulullah Saw dan menyuruh orang orang dipasar untuk tidak mengikuti ajakan Muhammad Saw.

Abu Bakar tetap sabar dan memperhatikan omongan perempuan tersebut. Abu Bakar bertanya kepada dirinya, “Bagaimana aku membayangkan perasaan Rasulullah saw memberi makan perempuan buta itu sambil dihina dan diejek setiap harinya oleh perempuan yang sama. Mulut yang telah diberinya makan tiap hari tapi membalas dengan hinaan dan cercaan.”

“Rasulullah Saw memang manusia paling mulia,” kata Abu Bakar dengan tetesan air mengalir

Ketika suapan roti tersebut masuk ke dalam mulut perempuan buta itu ia merasa kaget dan memuntahkan makanan yang diberi oleh Abu Bakar.

Lalu Perempuan buta itu berkata, ”Siapa kamu, kamu bukan orang yang biasa memberi aku makan”.

“Dari mana engkau tahu bahwa aku bukanlah orang yang biasa memberimu makan?,” tanya Abu Bakar

Perempuan itu mengatakan “Makanan yang engkau beri tidak kau haluskan lebih dulu. Orang yang biasa memberi aku makan selalu menghaluskan makanan lebih dulu karena ia tahu kalau gigiku sudah tak sanggup lagi mengunyah makanan.”

Air mata Abu Bakar makin menetes, mengingat Rasulullah Saw senantiasa berakhlak sangat mulia sekalipun terhadap orang yang setiap hari menghina dan mencacinya. Sejenak kemudian Abu Bakar berkata, ”Ketahuilah, orang yang biasa memberimu makan sudah wafat beberapa hari yang lalu dan aku adalah sahabatnya. Orang yang biasa memberimu makan adalah Muhammad Saw, laki-laki yang tiap hari selalu bersabar meski kau hina dan caci sedangkan ia tak pernah berhenti menyuapkan makanan ke mulutmu”.

Perempuan Yahudi yang buta itu tiba-tiba menangis oleh sebab kaget mendengar kabar itu. Bagaimana mungkin orang yang selalu bersabar dan memberinya makan sambil terus mendengar hinaan dan cacian bukan seseorang yang menjadi pilihan Tuhan untuk menyampaikan risalah kenabian. Ia menyesal belum sempat meminta maaf kepada orang yang sangat peduli dengannya padahal tidak ada seorang keluarganya pun yang sempat menengok keadaannya. Ia lalu bersyahadat di hadapan Abu Bakar dan menjadi muslimah yang taat.

Semarang, 01/09/2014