Monday, April 28, 2008

Kebebasan Untuk Ardi

Kebebasan Untuk Ardi
“Apa yang telah kau bawa dan mengapa kau telusuri jalan-jalan di tengah gelap malam seperti ini”. Desir angin di tengah malam pekat gulita semerbak wangi bunga, suara itu muncul di balik semak-semak perasaan orang ingin mencari sesuap nasi.
“Tidak aku hanya ingin memasang sepanduk calon pemimpinku yang telah memberikan aku sesuap rupiah di dalam kantongku”. Jawaban itu muncul dari hatinya yang yakin bahwa dirinya tidak akan melakukan kesalahan dan memang ia memikul tanggung jawab untuk memasang apa yang telah di perintahkan atasnya..

“Engkau masihkah di antara kesadaran atau kau hanya melaksanakan karena rupiah telah membungkus kaki dan tanganmu, apakah engkau tidak merasakan bahwa dirimuu telah memadamkan kehijauan kota dengan menutupinya dengan wajah-wajah yang belum tentu berperangai mulia”.
“Ya inilah perebutan kursi kekuasaan dan mereka semua merebutkannya serta tidak ada yang mengalah sebelum perhitungan tercapai kesepakatan. Apakah kau tahu bahwa diriku hanya bisa memanfaatkan momentum ini. Apakah aku bisa duduk di kursi jabatan yang mana aku tidak mengerti hal apa yang menarik di sana. Aku hanya bisa menarik becak kumuh ini.”
Seketika itu pohon-pohon taman kota telah rimbun dedaunan yang berwarna-warni ada yang merah, hijau, kuning, biru pokoknya sangat beragam jenis. Dedaunan itu saling bersaing dan tidak terjadi kerukunan yang semestinya di jaga untuk satu persatuan. Namun persatuan itu hanya di tulis dengan berbagai moto kemakmuran dan kesahteraan bagi mereka yang mau mendukung salah sutu warna. Alangkah indah kegelapan di malam ini yang sangat pekat dan hitam. Hatiku dan jiwaku seakan menjadi tenang di tengah sinar rembulan yang tidak begitu terang sebab sang rembulan telah di tutupi awan berwarna biru pekat untuk menyelimuti indah sinar cahayanya. Tidak ada bintang yang menyala. Tidak ada hiasan apa pun di tengah kota ini, yang ada hanya bagunan bertingkat yang megah dengan dinding tembok yang begitu tebalnya. Tidak ada tirai terbuat dari batik dalam negeri, adanya hanya batik demokrasi untuk menentukan kesejahteraan bumi pertiwi. Tidak ada apa….., tapi ada sesuatau yang terlihat sesak di semua tempat di pingir jalan, trotoar, taman kota dan pepohonan di pingir jalan serta reklame, poster yang terpajang lebar di angkasa yaitu demokrasi politik.
Di antara kegelisahan hatinya, kupingnya telah terasuki kampanyae politik yang melantun penuh melodi kerinduan kemerdekaan. Pikir-pikiranya telah menjadi samudra yang siap menampung semua hal tentang keluh kesah untuk satu kemenagan. Ini adalah episode baru di tengah kota dan desa. Kalau kota mendeklarasikan untuk satu kemakmuran kekuasaan sedangkan desa tidak tauh lah. Yang tahu hanya penduduknya yang hanya menuruti semua hal yang menjadi kewajibannya sebagai warga negara.
Suatu ketika pernah datang calon pemimpin di desa Pak Kardi. Pemimpin itu sangat berwibawa dengan di iringi mobil-mobil mewah merk luar negeri, ya..pastilah Indonesia saja hanya tempat meproduksi dan tempat orang yang siap jadi budak untuk berkerja. Pemimpin itu hanya memakai pakainan batik khas pekalongan, mungkin ingin menyesuaikan dengan pendududk desa, dia tidak memakai jas berdasi yang biasa di gunankan untuk bertemu pejabat satu letingnya. Tapi batik yang menempel di tubuhnya tidak sebagus pakaian yang menutupi tubuh penduduk desa.
Penduduk desa menyambutnya dengan kemerihaan. Tangan pemimpin penuh kecupan lipstick produck kampungan dan bibir-bibir yang ingin mengusap kelembutan tangan calon pemimpinnya yang di akui akan memberikan kemakmuran di desanya. Suara rebana bertabuh semakin kencang, sekencang suara sirene polisi yang ingin menangkap penjahat. Shalawat badar menyambut, laksana kemenangan di dalam peperangan politik.
Di desa itu hanya di suguhi pengajian atau dakwah yang mengundang dai ternama di tanah air ini. Dan semua penduduk desa menikmati penyampaian materi oleh dai kondang tersebut, suara lembutnya telah menusuk hati penduduk desa. Setelah dai itu memberikan wejangan atau nasehat yang mengebu-ngebu tentang pemimpin yang berbudi untuk bangsa. Gantian calon pemimpn itu maju kepangung menyuarakan kampanye politiknya di hadapan penduduk desa.
Dan gemuruh tepuk tangan mengiasi keakaraban penduduk desa yang telah di janjikan berbagai kenikmatan dan kemudahan dan inilah janji poitik tawaran.
Tidak heran jika hiasan calon pemimpin juga masuk desa, bukannya pembangunan yang semestinya masuk desa malahan perebutan kekuasaan pendukung dan simpatisan. Dan Pak Kardi hanya pengayuh becak yang mencari rizeki penumpang di pasar dan desaku telah ramai dengan gosip politik, yang mereka tahu hanya bagaimana gizi bisa menambal perutnya bukanya visi dan misi pemimpin yang mereka kampayekan.
* * *
Pagi itu banyak orang berkerumun di sekitar lapangan sepak bola, bukan maksud ada turnamen tapi ini adalah mereka berseragam berwarna biru. Warna biru telah memadatinya seperti langit terang dengan kecerahan bukannya mendung yang di harapkan. Ada beberapa ibu-ibu dan anaknya bertengger di bawah pohon beringin, karena terik matahari semakin terus meninggi menyilaukan wajah kusutnya, seperti biasa mereka menunggu kicauan burung ingin menetaskan telur. Ibu-ibu itu asyik ngobrol beberapa persoalan tampak anak-anaknya bermain sendiri di tengah kerumunan masa. Satu, dua, tiga kicau burung berbunyi, wajah-wajah kepanasan berseri-seri.
“Aku adalah satu yang akan memberikan kemakmuran. Bukankah itu nyata dan tidak kemunafikan”. Tuan berwarna biru berjaskan hitam dengan dasi yang berkilauan berwasiat.
“Suaraku ini bukanlah raksasa yang kelaparan dan menunggu mangsa. Tapi suaraku adalah mimpi kalian, harapan kalian semua yang ada di tengah lapangan ini”. Suaranya semakin tegas dan meyakinkan.
“Alangkah hinanya aku jika kalian sengsara dan aku akan membuat hidup kalian semua tidak lagi di bawah garis kemiskinan”.
Dan pagi telah mengantar siang mendiskusikan permasalahan negeri yang kaya duniawinya. Kemudian pemimpin itu keluar dari pangung seketika itu pula banyak orang yang ingin membelai manis tangannya di tengah kerumunan masa. Mobil sedan berpacu pelan melambaikan tanganya ke arah masa.
“Ya Allah sudah hampir pukul dua siang. Aku belum menjalankan ibadah shalat”. Pak Kardi kaget seketika matanya yang melirik jam orang di sampingnya.
Bergegas Pak Kardi menghampiri istri dan anaknya yang bercengkrama di bawah pohon dan terlihat anaknya berlari-lari kecil menghampiri pangilan bapaknya.
“Ardi ayo kemari sudah besar ya sekarag kamu, sana ajak ibu ke becak”.
Pak Kardi berjalanan mendekati becak yang menjadi tumpuan hidupnya. Namun masa yang begitu banyaknya membaut dirinya kesulitan karena banyak berjubel kendaraan, mobil dan truk memadati area parkir. Untung saja Pak Kardi sangat gesit, di kayuhannya becak yang telah di tumpangi istri dan anaknya untuk menuju masjid terdekat. Kecepatan ayunan hanya memberikan sedikit ruang bergerak, banyak mobil dan kendaraan berlalu-lalang dengan benderanya menutupi semua pandangannya.
Kepala Pak Kardi semakin pening. Sakit kepala yang di deritanya sejak satu bulan lalu seakan kambuh lagi, pandangannya mulai kabur, penglihatanya semakin tidak tajam. Ternyata sakit kepalanya sangat berpengaruh pada matanya.
“Brak”.
Mobil berplat kuning telah menabrak becak tua. Seketika itu Pak Kardi terjatuh tidak sadarkan diri, darah keluar dari badanya menembus pakaian yang membungkus kulitnya. Kerumunan masapun sedikit terganggu, mata-mata itu melirik dan mendekatinya ingin melihat kejadian tersebut. Mereka berjubel menyaksikan seorang bapak dan keluarganya yang tertabrak bus angkutan umum. Sejenak waktu masa melanjutkan pawai menuju daerah yang menjadi rute perjalanan kampanye.
“Ardi”.
“Apakah ini kesejahteraan yang kau impikan, apakah ini mimpimu yang engkau cita-citakan”. Teriakan itu muncul dari mulut Pak Kardi yang belum tersadarkan. Ternyata dirinya telah berada di rumah sakit daerah.
“Mana anak dan istriku”. Teriak Pak Kardi pada salah seorang yang berada di sampingnya.
“Sabar ya Pak, istri bapak ada di ruang sebelah dan tidak apa-apa coba lihat saja”. Pemuda itu menatap kearah pandangan Pak Kardi dengan kepercayaan yang mendalam.
Bergegas Pak Kardi menuju ruangan istrinya. Dalam pikirnya hanya terlintas pada kondisi kesehatan istri dan anaknya si Ardi, bukanya berapa duit untuk membayar biaya berobatnya. Matanya dan hatinya tersontak diam beribu kata. Di lihatnya istri tercintanya menagis tersedu-sedu di ranjang berwarna putih di bawah telapak tangan ardi yang lemas dan belum sadarkan diri. Ardi telah mengalami benturan keras yang mengakibatkan kesadarannya belum kembali. Tubuh Ardi penuh dengan luka, darah merah sedikit keluar dari tubuhnya namun matanya belum mampu melek tajam. Pak Kardi bersimpuh di pangkuan istrinya seraya meminta maaf.
Tangis air mata suami istri menyinari seluruh isi ruangan atas keperihatinan Arjuna yang beranjak remaja.
* * *
Wong ngaurip wus tamtu, akeh padha arebut piyangkuh, lumuh lamun kasor kaseser sathithik, nanging singa peksa unggul, ing wekasan dadi asor.[1]
“Ardi anakku maafkan bapakmu ini yang telah mengajarkanmu tentang kebebasan dan demokrasi. Orang hidup itu selalu ingin mendapatkan kenikmatan dan kekuasaan”.
“Ardi anakku bapakmu akan memberikan segalanya untukmu kemakmuran, kebahagiaan dan kesejahteraan bukan orang lain, maafkanlah perbutan bapakmu yang salah mengajarkanmu kebebasan dan demokrasi. Tidak seorang pemimpin yang berebut kekuasaan yang menjerumuskan dia menjadi orang hina”.
“Untuk Ardi dan Istriku sabarlah di perbaringan ini, bapakmu akan mencarikan uang untuk membawamu ke gubuk indah yang kita miliki di desa, bukanya kota yang penuh janji-janji dan mimpi. Bukan hina yang kita inginkan tapi kemulyaan di sisi Tuhan, banyak pemuka agama, konglemerat, pendidik dan politikus belajar demokrasi yang tidak tahu arah yang mengakibatkan terrjerumus di lembah kehinaan dan syahwat nikmat dunia serta nafsu menjadi orang nomor satu di negeri republik tercinta”
“Tunggulah bapakmu untuk kembali dalam kebahagian keluarga yang kita idamkan”.
Pak Kardipun menuju mushola yang berada di rumah sakit. Ia jalankan kewajibannya sebagai orang yang beriman, namun jiwanya semakin terluka ketika melihat Ardi anak semata wayangnya ia ajarkan tentang demokrasi yang sebelumnya belum pantas untuk di terima.
“Ampunilah hambamu ini ya Tuhan yang maha pengasih dan penyayang. Aku telah melakukan kehinaan, kebohongan, kemunafikan dan kebodohan dengan kalimat demokrasi untuk anak dan istriku.

“Vila Sisemut Ungaran 2008
[1] Petikan “Serat Wedharaga”, Ronggowarsito



Previous Post
Next Post
Related Posts

0 comments: