Monday, February 23, 2009

TU(h)AN PRESIDEN

Derap-derap langkah kaki terdengar seiring angin kecil berhembus di dalam ruangan auditorium pertemuan. Kaki itu muncul berhiaskan sepatu hitam dinas, pakaianya parlente dan nampak jas dan dasi memenuhi sekucur tubuhnya. Perlahan waktu orang-orang telah memadati arena tersebut, layaknya arena pertandingan sepak bola. Sorak-sorak gembira dan tepuk tangan menyambut kedatanggannya.

Wajah cakrawala yang kian berwarna merah padam muncul dari sedan berwarna hitam. Cakrawalanya kian bersinar terang menghijaukan sisi-sisi ruangan. Mungkin matahari telah lama bermimpi dalam peraduan indah gemilang bidadari surga. Sesosok manusia penuh karisma keluar melambaikan tangan, membungkam suara-suara yang penuh dengan ke-egoan. Teriakan para manusia kerdil menghantam janji-janji yang di bumbui dengan sugesti.

Terik mentari dan debu-debu seakan memadu kasih menciptakan romantisme picisan menyambut kedatangannya. Kehadiranya dianggap sebagai sesosok satrio piningit dengan berbekal visi yang lebih maju untuk negeri tercinta. Para pecintanya terlelap asyik mendengarkan khutbah kemerdekaan, mendayung waktu dalam pergulatan zaman yang lebih demokratis.

Tanpa penuh kesadaran, sekarang para pecinta telah menjadi ruh dan nyawa bagi pemimpinnya. Mereka rela melakukan apapun bahkan nyawapun menjadi taruhan, yang terpenting orang yang ia cintai dapat menduduki nikmatnya istana negara.

”Wahai pendukungku, akan aku ajarkan bagaimana demokrasi yang sesungguhnya. Bahwa perubahan dilakukan melalui hal terkecil yaitu melalui teriakan kalian untuk mendukungku”. Ucapan satrio piningit menghempas ke seluruh auditorium.

Pernahkan para pecinta kembali menjelajahi isi hatinya. Pada hakekatnya setiap diri mempunyai hak untuk mendukung dan memiliki kewajiban yang harus ia kerjakan. Namun disadari atau tidak, pada realitasnya para pecinta tetap menjadi nyawa untuk pujaannya.
”Eh...Man! Sudah jam berapa ini, sepertinya kok mentari sudah condong ke barat ?. Tanya Sugeng kepada Herman.
”Baru jam setengah tiga, emang ada apa to kok nanya jam segala ?”. Sahut Sugeng.
”Tahu ngak Man, kita disini berdiri sudah hampir 5 jam. Apa kau lupa ini sudah saatnya shalat dzuhur”.
”Oh..ya, hampir kelupaan. Tapi nangung lah acaranyakan hampir selesai. Ntar nggak kebagian amplop lho. Kasian tuh istri dan anakmu menunggu dirumah, sedangkan engkau tinggal shalat malahan kau tidak dapat amplopnya”. Herman mengajak sugeng.
”Tapi...!”.
”Ngak usah pakai tapi, lha yang punya acara saja lupa. Kita juga seharusnya ikut-ikutan lupa.
”Gitu ya...Man!. Ya udah”.
Waktu seakan memutar cepat, sesuatu yang diharapkan dan menjadi banyak incaran kaum pecinta. Bungkusan berwarna putih itu pastilah amplop yang telah digengamnya erat. Seorang manusia rendah berlari dengan tergesa-gesa memberikan salam kepada pujaanya.
”Terima kasih atas dukungannya, semogga ini bukan kali terakhir engkau menjadi para pecintaku”. Pesan terakhir untuk para pecintanya.
Dua sahabat Sugeng dan Herman berjalan dengan penuh keriangan, cara pandangnya mengatakan bahwa untuk tiga hari ini mereka bisa makan enak.
Orang yang di cintaipun beranjak pergi dengan sedan mewahnya dengan berbagai fasilitas di dalamnya. Sedangkan mereka berdua hanya bisa berjalan dengan di fasilitasi terik mentari. Tidak ada yang abadi di dunia ini, semuanya hanya mampir untuk di lewati, bukan di terjemahkan untuk bisa menjawab problema kehidupan. Tapi sangat sederhana sesungguhnya manusia hanya ingin menikmati kebahagiaan sementara yang penuh dengan kenyataan. Bukan omong kosong yang dibungkus dengan kemunafikan dan iri hati.
Bagaimana merumuskan demokrasi untuk negeri tercinta, yang berjubel dengan orang-orang besar dan pintar. Pada gilirannya membentuk sistem yang melahirkan pemimpin-pemimpin yang bermental miskin. Apakah orang kecil yang menjadi pusat pergeseran untuk menaklukan sistem. Problem yang tidak dapat dihindari oleh gerak-gerik manusia yaitu berupa materi. Apa lagi berfikir agama dan problem hermeneutik yaitu suatu hal yang berkaitan dengan proses tingkah laku pemahaman keagamaan.

* * *

Orientasi tersebut telah membutakan mata hatiku bergulir seiring perubahan yang tidak kenal henti. Mereka kaum pecinta melangkah dalam pembuktiannya untuk berinteraksi dengan diriku. Ini lah aku yang hanya bisa terbaring lemas diantara dua roda tanpa kaki. Aku hanya bisa memandang indah dunia dengan kedua mataku, namun aku tidak bisa menikmati langka kaki untuk menginjak bumi dan berlari kencang memetik bunga-bunga ditaman.

Kutukan pecinta itu menghantui hidupku, semua yang aku ucapkan seperti layaknya wahyu Jibril. Tangan-tanganku ini seperti berkah yang memberikan rizki, tetesan keringatku seperti halnya air zam-zam yang dapat menyembuhkan. Kemana Tuhan, apakah ia telah lari dan bersemubunyi di balik tirai, aku yang bodoh ataukah para pecinta yang amat keterlaluan terhadapku. Mereka telah menjerumuskanku dalam lembah kehinaan, sedangkan mereka sedikit kenikmatan namun sangat mensyukurinya.

Aku dan pecintaku hanyalah buah karya Tuhan yang paling agung dan unik. Pada awalnya penciptaan manusia, semua malaikat merasa kurang sepakat dengan penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi, tapi mereka tetapa bersujud kepada manusia yang penuh dengan kehinaan sebagai bukti cinta kepada tuhannya. Sedangkan kaum pecintaku hanya mencintai bungkusan putih yang hanya berisi beberapa rupiah.

Maafkan aku wahai pecintaku. Ampuni hambamu Ya...Tuhan, Engkaulah segala dari ke-Mahaan tidak ada daya dan upaya selain asma-Mu. Aku tidak akan melupakan kejadian itu, saat mobil sedan yang ku tumpangi terperosok kedalam jurang. Kini mimpi-mimpi itu telah sirna, ditelan heningnya malam bulan purnama.

Melalui sujud taubatku ini, aku berjanji akan memberikan yang terbaik untuk negeri tercinta demi kemakmuran dan kesejahteraan untuk semua. Aku meyakini bahwa setiap manusia memiliki ruh yang merupakan saripati kesucian. Dimana di dalam ruh itu terkandung keimanan berupa kalimat “Laailaaha Illallah” dan “Asmaaul Husna”. Karena setiap ruh itu suci yang semestinya selalu berdzikir dan melakukan hal-hal yang baik, bukan menjadi tu(h)an presiden.

* * *

Sangat sederhana dalam merumuskan demokrasi, kita berhak memilih dan dipilih namum semua ada sistemnya. Sistem terbentuk karena adanya keinginan untuk mendapatkan yang terbaik di sisi-sisi singasana dipenuhi dengan limpahan intan permata. Sosok Herman dan Sugeng hanyalah manusia yang mencinta, ketika ia membenci atau menyukai akan mendapatkan perlakuan berbeda. Seperti halnya mendapatkan sedikit materi. Setiap insan menghendaki keabadian dan kemapanan hidup serta merasakan hal-hal yang menciptakan kenyamanan.

”Sekarang sudah tidak terdengar lagi suara-suara demokrasi”. Tanya Herman kepada Sugeng dengan sambil menikmati sebatang rokok dan secangkir kopi di warung makan Mbok Yuni.
”Iya...ya. Kau kan tahu sendiri si Firman Hadi Sutrisno itu mengalami kecelakaan dan sekarang ia hanya bisa duduk di kursi roda. Semua hartanyapun hampir habis untuk berobat”.

”Makanya kalian tu harus bersyukur, walau ngak punya uang tapi tetap sehat dan dapat menikmati makananku”. Mbok Yuni ikut-ikutan ngomong.

Keanehan muncul dari warung kecil di pertigaan jalan. Kicau burung bagai Sang Khidir mengajarkan cinta untuk Nabi Musa, sang pecinta telah lupa pada siapa yang namanya Firman Hadi Sutrisno seorang pengusaha sukses. Kenistaan ini muncul bisa dari ketinggian dan kerendahan. Di sisi lain demokrasi telah di kotori oleh kedurhakaan pecintanya dan cahaya mulai redup ditangan manusia yang tidak lagi memiliki materi. Pantaskah kita berfikir menjadi khalifah di bumi, sedangkan kita semua berebut untuk mendapatakan jabatan dan kehormatan.
Kau tercipta dari tanah dan merupakan simbol kebusukan, kekotoraan dan kenistaan. Dengan materikah engkau ingin memulyakan harkat, martabat dan takwamu. Tidak semua hanya awal dari sebuah akhir ”eling marang sangkan paraning dumadi”. Tujuan kita hidup adalah untuk mengabdikan diri menuju ke haribaan-Nya, maka janganlah kau kotori dengan noda-noda dusta dan durhaka serta materi semata.

Semarang, 20/02/09 (22.06 WIB)
Previous Post
Next Post
Related Posts

1 comment:

  1. numpang lewat juga :D

    buka blog mas lukni
    yg pertama kali saya kunjungi halaman cerpen.nya
    karna saya suka skali mmbaca cerpen
    tapi, saya tidak bisa merangkai kata2 agar bisa menjadi sbuah cerpen sperti buatan mas
    mungkin memang saya yg tidak berbakat dalam menulis
    namun berbakat dalam melahap habis semua cerpen yg saya temui
    hhehe

    penulis ya mas ?

    salam :D

    ReplyDelete