Wednesday, February 6, 2008

Air Dan Kehanggatan Cinta




Air Dan Kehanggatan Cinta


Sisi-sisi yang menarik antara harapan yang belum tercapai kini menjadi kabut mengikat batin yang terselimuti dengan angan-angan yang tidak pasti. Kini sisi-sisi itu menjadi kenanggan yang tidak bisa di ukir layaknya indahnya permadani dengan untaian batik Pekalongan dan layaknya ukiran dari Jepara
yang mengisyaratkan kelembutan hati. Kegelapan itu belum berlaku untuk mereka yang mempunyai cita-cita dan di sebuah gubuk kecil dengan tali-tali yang mengikat telah mengembangkan kain-kain dari plastik untuk berkibar ke angkasa, itulah hamparan serban yang menutup hari-hari ku. Di tempat jauh dari asalku berada. Tampak di sana terbagi beberapa kelompok-kelompok keluarga aku melihanya dengan teliti mereka asyik bersendau gurau, asyiknya mereka membuat aku jadi ngiri.
Aku juga melihat anak-anak kecil berlarian di hibur oleh badut-badut sewaan yang tidak tahu dari mana asal mereka sesungguhnya tapi aku sangat senang yang terpenting mereka dapat menghibur teman kecilku. Ibu-ibu asyik berdiskusi eh atau mereka jangan-jangan sedang mengosip tidaklah, wong mereka masih di depan tungku untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Aku melihat dengan mataku sendiri seorang bapak yang duduk termenung sendiri di atas drum besar sambil menikmati rokoknya yang tidak bermerk kayaknya rokok cerutu yang di hisap pejabat tinggi.
Badanku mulai lemas lunglai sesekali suaraku terkadang tidak dapat di dengar namun sisi-sisi suara hatiku terus berteriak. Mataku tidak dapat mengeluarkan air lagi sebab telah aku tumpahkan waktu pertama kali aku merasakan hijrah di padang sahara yang panas ini, tetapi bukan kegersanggan yang aku temui yang ada hanya teriakan kepedihan dan dingin yang membujur kaku.
Aku hanya lemas merasakan pahit getir aroma dunia yang begitu menusuk untuk mereka yang tahan ujian sementara dari Tuhanya, mungkinkah ini hanya cobaan untuk mereka supaya berfikir atau salah siapa semua musibah ini bisa terjadi.
Mendung selalu saja mengelayuti otaku sare ini. Tenda-tenda berjajar rapi sinar mentari sore yang bercahaya tamaran belum juga mampu menyibaknya. Pikiranku benar-benar hanyut dan berkabut awan pekat. Butir-butir air mata nan bening menetes dari mata yang tidak pernah salah tapi aku tak menghiraukannya. Aku masih ingat pesan ibuku empat hari yang lalu "hidup itu harus di jalani dengan sabar dan syukur".
Bagaimana aku bisa sabar jika kaki dan tangaku terpasung oleh aturan yang mengikatku begitu kencangnya!
Bagaimana aku bisa syukur jika aku tidak mendapatkan kenikmatan dan kebahagian seperti orang-orang yang ada di atas sana!
Aku hanya mampu merintih dan sakit ini akan tersimpan dalam hati. Sementara sore ini senja semakin temaran. Aku tidak lagi mampu merasakan belaian kasih sayang ibu kemesraan yang tak dapt di ukur dengan waktu, telah lama sejak kecil aku juga sudah kehilangan bapak tercintaku yang belum pernah terlihat dengan mata sempurna ini. Seluruh tubuku mulai letih dan nyaris aku tak mampu untuk mengangkat bobot badanku yang hampir enam puluh kilo gram.
Dunia yang kita huni adalah dunia yang seperti besi yang tak bisa memuai, karena aku tak mampu merobohkan tiang-tiang tinggi dengan pencakar langitnya. Gedung-gedung bertingkat telah menjadi alas kami untuk meminta-minta. Aku telah di jadikan budak olehnya
Tuhan kau anugerahkan air yang begitu berkahnya bagi mereka yang tinggal di apartemen yang begitu mewahnya, sedangkan kami air itu telah mneghanyutkan kami menuju bukit sengsaramu! Apakah ini cobaan buat kami, padahal kami hanya ingin menikmati sedikit mentari pagi akan tetapi kenapa dunia semakin membenci kami! Apakah kau benci pada kau yang tak tau diri ini dan hanya bisa memohon!
Hari terus mengambang. Malam berganti dengan pagi, siang berganti dengan sore mereka saling teratur menata dirinya. Aku ingin kembali seperti mereka yang begitu disiplinya mengatur waktu. Tapi malam ini selera makanku kurang bergairah dan tidak tampak enak. Inilah makanan sumbangan dari donatur yang rela menyumbangkan sebagian rizeki mereka untuk kaum petenda ini.
"Dik Lia sakit ?". Mencoba berkata kepada saudari kecil itu.
"Tidak kok Mbok, cuman badanku lagi ngak enak". Jawabku datar
"Lagi mikirin apa sih, dik?. Kembali lontaran pertanyaan itu datang.
"Ya gini mbok namanya aja lagi ngak ada yang bisa aku kerjain". Aku hanya pasrah menerima keadaan seperti ini.
"Sudahlah yang berlalu biarlah berlalu, berdoa saja semoga arwah ibumu di terima di sisinya"
"Ma kasih Mbok, semoga juga aku dapat menerimanya dengan ikhlas".
Setelah Mbok Ijah membersihkan meja makan di bawanya di antara puing-puing tembok yang ada di sebelah barat dari tendaku. Dunia ini memang kejam, aku di tinggal sendiri hanya Mbok Ijah yang kini merelakan dirinya menjadi ibuku dan sekaligus bapak yang selalu menasehati aku untuk selalu tegar.
Kembali pikiranku terguncang badai yang kelam membuat seluruh penghuni kampung itu terbawa arus yang begitu derasnya. Menghancurkan seluruh isi perkampungan dan tidak ada apa-apa selain rongsokan dan pecahan-pecahan genting yang tercecer ketidak rapiannya.
Semuanya menimbulkan keluhan untuk semua pengugsi di sini. Mana tanggung jawab pemerintah apa hanya bantuan materi yang kami konsumsi dan kunjugan para pejabat yang hanya meninjau dan melihat. Atau orang-orang yang merasa kasihan pada kami. Aku tidak butuh semua ini, yang aku butukan sekarang hidupkan desaku yang elok nan indah itu.
Ini semua kelakuan penguasaku dan pengusahaku yang telah mengeksploitasi hutanku. Tanahku di huni oleh manusia-manusia bejat yang tak bermoral mereka telah membagun tanah yang tidak berdosa itu denga real stetnya. Tanahku telah berganti fungsi dari tetanaman kehijauan dengan kebulan asap hitam yang menyelimuti bumiku. Cagar budayaku telah di manipulasi menjadi barang unik yang siap di lelang oleh para kolektor. Dan kini hanya para provokator yang hidup. Serta koruptor bencana yang berencana berdasarkan hitungan matematis.
"Adik ayo tidur dah malam lho". Mbok ijah memandagku lembut, paras matanya sepertui mata ibu.
"Ya..., ntar Mbok tidur di sampingku ya". Pintaku
"Jangan lupa pakai selimut".
Mbok Ijah yang perhatian padaku, sungguh engkaulah penganti rinduku. Akupun langsung terbaring di kasur yang terbuat dari karpet bekas dengan sulaman bunga-bunga yang bertaburan mesra.
Meski harapan dan cita-cita tiada guna jika kita tidak berusaha. Jika program kerja hanya tujuan kita tak akan mencapai kemenagan. Air jangan kau basuh aku dan seluruh penghuni bencana ini mengenagmu kembali. Basuhlah mereka para koruptor, provokator dan para kolektor yang telah meperdagangkan engkau ke meja internasional. Selamat malam air semoga engkau menidurkan kami dalam kehangatan cinta.
Previous Post
Next Post
Related Posts

0 comments: