Monday, April 7, 2008

Pendidikan Islam: Renungan Atas Kesadaran Moral dan Epistemologi Ilmu Pendidikan

PENDIDIKAN ISLAM
(Renungan Atas Kesadaran Moral Dan Epistemologi Ilmu Pendidikan)


Tak ada kaum yang bangkit ketingkat kesucian
Kecuali bila s lemah berdiri di hadapan yang kuat tanpa ragu

(Sayyidina Ali dalam Nahjl Al-Bhalaqah)



Islam adalah agama bagi semesta alam, Muhammad sebagai risalah (pemberi kabar gembira untuk umat manusia). Agama Islam bukan agama pmbodohan, kejahilan atau kegelapan, begitu juga pendidikan yang bersifat elastis, terbuka bagi orang yang ingin belajar. Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang bersumber atas ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kesadaran umat Islam yang secara kuantitas terbesar dari umat lain sebelum umat kristen dan kecenderungan umat Islam masih mengulang kisah lama antar golongan intern sendiri, yaitu masih terpaku pada era golden age (masa keemasan), masih terlelap atas kejayaan masa lalu. Menunjukan bahwa kesadaran moral dan ilmu Islam perlu di bangkitakan dan diperdayakan sesuai mana mestinya berlandaqskan pada nilai-nilai ketahuidan.
Landasan ajaran Islam inilah berkembang sebagai pencarian hakekat pendidikan Islam melalui pendekatan filosofis untuk membuka kembali pendidikan yang benar-benar sesuai dengan karakter Islam. Latar belakang tuntutan pendidikan ini juga tak terlepas dari kajian sosiologis, antropolgis dan psikologis masyarakat dan anak didik yang menjadi trend center dan memiliki beragam potensi.
Dalam dunia pendidikan, tak terlepas adanya permasalahan dan problem yang begitu signifikan. Pendidikan masih terlantar tak tahu arah bagaimana pendidikan melangkah di era globalisasi dan post modernisasi. Tujuan pendidikan sekarang tidak benar-benar diarahkan pada tujuan yang mana semestinya sesuai dengan orientasi Islam. Tujuan pendidikan Islam diorientasikan pada akhirat semata dan cenderung devinitive, yaitu menyelamatkan kaum muslim dari pencemaran dan pengrusakan yang ditimbulkan oleh gagasan Barat yang datang berbagai disiplin ilmu, terutama yang mengancam akan meledakkan standar-standar moralitas tradisional Islam. Perubahan dunia yang begitu pesat dan telah di dominasi oleh sistem kapitalisme, menyebabkan dehumanisasi sebab meletakan pendidikan sebagai komoditas dan proyek untuk mengakumulasi kapital
Perubahan dunia yang begitu mencekam dari berbagai masalah kriminal seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, pencurian dll, juga elit pemerintahan yang terkenal dengan slogan KKN dan rencana RUU pornoaksi dan pornografi yang mengalami diversitas antara konteks budaya dan agama begitu pula norma adat di indonesia. Seperti ysng di ungkapkan Prof.Dr.Djohar bahwa pendidikan moral hanya sebatas moral kognitif bukan moral learnig, maka perlu penawaran pendidikan transformatif upaya membabangun pendidikan moral.
Bagaimana juga intuisi yang bernama sekolah itu menanggapi penyakit pendidikan yang mana sekolah mampu mencetak manusia menjadi pejabat tapi juga penjahat. Masih pantaskah sekolah untuk mengakui peran tunggalnya dalam mencerdaskan seseorang? Pendidikan juga cenderung bersifat akademis orientasi skill dan value (nilai), terkadang kurang diaplikasikan, namuan di sisi lain aspek moral juga telah mengalami kejumudan dan paradigma kritis pun sudah mulai hilang.
Masalah lain yang juga menghantui umat Islam sekarang ini adalah masalah ilmu, tepatnya ketiadaan ilmu dikalangan umat Islam. Kemudian pertanyaan-pertanyaan yang muncul seperti; ilmu yang mana atau jenis ilmu apa diperlukan umat Islam? Bagaimana memecahkan masalah itu?
Terkadang dalam dunia pendidikan orang-orang Barat menjadi rujukan. Padahal dalam agama Islam sudah ada teori tentang pendidikan Islam dan pendapat para pemikiran pendidikan Islam, semacam saja Nabi Muhammad mengajak para sahabatnya dan manusia untuk percaya kepada Allah. Para sahabat Nabi zaman Abbasiyah merupakan era keterbukaan dibukanya Baitul Hikmah pusat pengkajian dan penerjemahan. Tidak heran pada era ini muncul enpat imam yang amat mashur dibidang fiqih dan para pemikir rasionalisme pada ikhwan al-safa serta madzhab sufi yang digebrak oleh pemikiran al-Ghazali dan filosof semacam Ibnu Rusyd.


Pendiikan Islam
Pendidikan atau education (Inggris) yang berasal dari bahasa latin "educare" berarti memsukkan sesuatu atau memasukkan ilmu kepada seseorang. Dalam bahasa Arab ada beberapa istilah yang biasa dipergunakan dalam pengertian pendidikan, yaitu antara lain ta’alim sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 31. Juga kata tarbiyah seperti firman Allah dalam surat Bani Israil ayat 24. Disamping juga kata ta’dib, seperti sebuah hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
Artinya : "Allah mendidiku, maka ia memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan "
Konferensi internasional tentang pendidikan Islam yang pertama (1997) ternyata juga tidak berhasil menyusun definisi pendidikan yang disepakati karena banyaknya jenis kegiatan dan luasnya aspek yang dibina oleh pendidikan. Menurut Ahmad Tafsir pendidikan adalah bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal.
Dasar pendidikan Islam adalah bahwa sesungguhnya setiap manusia berkewajiban untuk menuntut ilmu sebagaimana hadits Nabi yang artinya "menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat dari buaian hingga liang lahat". Pendidikan Islam bersifat transendental yang menekankan sifat teosentris kepada Tuhannya, dan tak mengeyampingkan konsep antroposentris yang merupakan bagian esensial dari konsep teosentris.
Tujuan pendidikan Islam harus di interprestasikan pada aspek atau unsur manusia bahwa ia terdiri dari tubuh, hayat dan jiwa. Bertolak dari konsep manusia yang bersifat intergal-holistik, maka pendidikan Islam berorientasi pada persoalan dunia dan akhirat. Ini dapat di ketahui dari surat ad-Dzariyah ayat 56 dan surat al-Mulk ayat 15. Sedangkan pandangan Ahmad Tafsir, bahwa pendidikan Islam itu menjadikan kita manusia sempurna sebagai tujuan umumnya. Pandangan tentang manusia sempurna juga sama pada pemikiran tokoh Muhammad Iqbal yang terarah pada falsafah dan hakekat arti fungsi individu (asrur i khudi).
Disamping juga tujuan secara umum namun dapat di kongkritkan melalui aspek-aspek pembinaan dalam pendidikan Islam. Dalam hal ini maka sekolah sebagai pemeran dalam pengembangan pola pendidikan sebagimana tujuan itu harus mencakup pada tahap akademis, skill dan value. Tetapi terkadang sekolah mematikan potensi pada peserta didik dan kurang memahami aspek skill dan value (nilai). Bagaimanapun pendidikan kita (Indonesia) ditetapkan kurikulum berbasis kompetensi yang hanya mengacu pada kemampuan dan tidak menekankan pada otak, pikiran tidak pada moral adalah sama artinya dengan mendidik atau menebar ancaman pada masyarakat.
Kurikulum berbasis komptensi akan menggoyahkan sistem sekolah yang iri akan terjadi komersial ataupun sikap kapitalisme. Sekolah akan membutuhkan orientasi live skill dan membutuhkan usaha yang layak (benefit or risk) untuk menyesuaikan mutu pendidikan era desentralisasi seperti dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 SISDIKNAS. Sistem persekolahan akan mendorng peserta didik menjadi orang gila, yang terkekang oleh kebebasan dari seragam, buku dan peraturan. Padahal pendidikan sebagaimana kata Frankin Boobit bahwa pendidikan harus berusaha membebaskan dari sikap dehumanisme.
Sesungguhnya pendidikan bersifat kebebasan (education of free)sebagaimana kata Muhammad Iqbal dengan menggunakan metode proyek atau trial and error, bahwa anak didik bebas berekspresi untuk melakukan eksperimen sesuai kemampuan untuk mengungkap tabir atau rahasia yang tersembunyi. Sebagaimana juga pandangan K.H Imam Zarkasi, pendidikan tidak hanya bersifat intelektualistis yang berdasar pada obyek murni tetapi juga berfikir antologis dan religius.
Tapi di Indonesia khususnya justru pendidikan sekolah merupakan kewajiban, yang mana pendidikan minimal 9 tahun. Maka pendidikan adalah proses memperoleh gelar akademik dan ijazah, pendidikan berarti anda suka, tidak suka harus suka, pendidikan adalah siap bersedia dan siap punya uang. Benar apa kata K.H Zarkasi bahwa ia cenderung tidak memihak pada orientasi ijazah karena itu justru akan mematikan pola pikir dan kebutuhan manusia karena pendidikan merupakan proses tanpa akhir (religius ending process). Pendidikan atau sekolah telah membentuk anak didik untuk mendaptakan kelayakan di masyarakat seperti bekerja dan priorotas material.
Pendidikan juga bukan ajang pemaksaan sistem pemerintahan ataupun sikap industrialis, maka akan timbul namanya dehumanisasi dan detolitas anak menurut Sulaiman sebagaimana ia mengatakan:
Education system interpreted strictly in the sense of human resources pursuing technological aduances, supporting economic growth, industrialization, orang ever serving as a government taol wil end up causing the dehumanization of children.


The Death Of Moralizm and Epistemologizm
Bagaimana dengan etika dan nilai adab serta perilaku dalam pendidikan. Karena laporan aktivis lembaga pengkajian dan pengembangan sumber daya pembangunan (LPPSP) Semarang Dra. Indra Kertasi, M.Si mengungkapkan jumlah anak Indonesia 30,44% dari jumlah penduduk dan 50% nya pernah mengalami tindakan kekerasan. Kekerasan ini dilakukan orang tua, tetangga dan orang lain serta negara juga ikut daftar tersebut karena banyaknya anak terpinggirkan (termajinalkan) dan terlantar.
Maka perlu adanya kajian sikap antropolgis, sosiologis dan psikologis anak. Menurut pandangan tokoh pemikiran pendidik contoh saja al-Ghazali dalam "ihyak ulumuddin" dan K.H Hasyim Asy’ari dalam "Adab al-alim wa al-muta’alim" bahwa ada batasan dan etika dalam mencari ilmu dan memuliakan ilmu. Di samping juga memperhatikan kebutuhan psikologis anak didik tentang keinginan untuk belajar. Dan juga perlu kajian tentang sifat hakekat ego atau pribadi yang merupakan pandangan Muhammad Iqba dalam pendidikan dalam karyanya asra-i-khudi.
Gagasan tentang pembaharuan yang dimotori gerakan purifikasi semacam Wahabi yaitu untuk membersihkan Islam dari pengaruh dan praktek yang dianggap berlawanan pada doktrin Islam karena adanya religious innovation (bid’ah). Pembaharuan kaum modernis lihat pemikiran Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abdus Dan Sayid Ridha yang cenderung dinamis antara doktrin Islam yang berdumber pada al-Qur’an dan al-Hadits tapi juga tidak mengesampingkan sikap rasionalisme dan kebutuhan akan tuntunan zaman. Pemikir lain yang paling dominan pada aspek sosiologis yaitu Ibnu Khaldun yang karyanya dibidang sosiologi yaitu "al Mukhadimah" yang menerapkan bagaimana penilainnya harus di transformasikan pada aspek pemerintah, masyarakat dan psikologis individu khususnya penerapan dan kemenangan.
Islam penah mengalami masa kejayaan dan kemenangan pada ranah ilmu pengetahuan pada pemerintahan bani Abbasiyah. Namun semenjak abad 18 Islam mengalami penurunan di segala bidang karena terjadi perpecahan dan penjajahan oleh bangsa-bangsa Barat yang mengangap pada abad ini merupakan abad Renasaince dan revolusi di segala bidang. Sejarah membuktikan bahwa Islam pernah berjaya dan akan terus maju, terus mengapa Islam mengalami stagnasi pada masa sekarang, karena adanya masalah yang misterius yaitu tentang ilmu.
Nilai-nilai ada dalam Islam adalah sepanjang masa. Jadi Islam memiliki pandangan hidup (way of life) mutlaknya sendiri merangkum persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta dll. Islam memiliki penafsiran ontologis, kosmologis dan psikologis tersendiri terhadap hakikat. Islam menolak ide dekonsekrasi nilai karena merelatifkan semua sistem akhlak. Jadi epistemologi Islam tidak membenarkan model berat karena mereka menolak sesuatu ilmu yang bersifat non fisik, sedangkan epistemologi Islam memandang methapisik merupakan hal yang esensial.
Muhammad Naquid al-Attas menyadari bahwa "value" yang terkandung dalam ilmu pengetahuan Barat modern sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum muslim sekalian, ilmu pengetahuan dalam budaya dan peradaban Barat tidak semestinya harus diterapkan didunia muslim, sebab ilmu bukan bebas nilai (value free), tetapi sarat nilai (value laden). Maka perlu Islamisasi ilmu yang akan membebaskan akal manusia dari keraguan (shakk), dugaan (zann) dan argumentasi kosong (mira') menuju keyakinan dan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelegible dan materi.
Sedangkan Islamisasi ilmu menurut al-Faruqi dalam karyanya "Islamiization of knowledge; general priciple and workplan", menegaskan Islamisasi ilmu sebagai usah untuk mengajukan kembali ilmu yaitu untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionlisasi, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk tujuan dan melakukannya secara yang membolehkan disiplin untuk mempercayakan perjuangan Islam.
Jadi adanya Islamisasi ilmu merupakan cara menumbuhkan kembali pemikiran tentang Islam dan ilmu pengetahuan dan bukan melakukan westernisasi dan penjiplakan pada Barat cenderung sekuler.

Renungan Pendidikan Islam Yang Menyesatkan
Di awal sudah jelas apa yang diungkapkan oleh Sayyidina Ali yang mampu memacu umat Islam. Karena pandangan bahwa pendidikan merupakann sarana pencarian hakekat ilmu dan penyadaran eksistensi kemanusiaan. Dengan pendidikan pula sebagai penyelamatan kondisi moral yang mengumandangkan bahwa Islam adalah anarkis, kejam, anti hak asasi, menyudutkan perempuan bahkan teroris, begitu memilukan itulah kiranya barat memandang sepak terjang islam sekarang.
Pendidikan merupakan bagian proses dari hubungan vertikal dan horisontal dengan tuhan dan manusia dan alam. Maka pendidikan berororientasi pada dunia untuk memakmurkan alam semesta dan akhirat untuk mencapai kebahagiaan yang abadi. Kita perlu berfikir ulang dan tentang keterpaduan epistemologi baru pendidkan semisal dengan pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan, bahwa pendidikan harus menenekankan pada aspek hati yang bersifat teosentris. Tapi pendidikan juga harus menekankan aspek hati dan fisik karena itu merupakan substansi manusia yang teletak pada sisi antroposentris danteosentris.
Tujuan dapat diarahkan pada substansi manusia yang terdiri dari jasmani dan ruhani ataupun fisik dan non fisik. Juga kebutuhan manusia untuk berinteraksi langsung pada diri dan masyarakat pada umumnya. Maka pendidikan Islam dapat diarahkan pada pembentukan potensi untuk mengembangkan kebutuhan hidup (liffe skill), bukannya mematikan (les skill) potensi atau kemampuan. Juga proses pendidikan moral akhlak, maka sekolah diharapkan dapat menjadikan manusia seutuhnya bukannya melakukan dehumanisme yang bertolak belakang pada paham kapitalisme. Aspek moral ditekankan karena apabila peserta didik dioptimalkan untuk pengembangan pikiran akademis atau penekanan otak saja. Tapi landasan moral harus di utamakan sebab jika menekankan life skill atauun mind free sama saja dengan menebar ancaman pada dirinya dan masyarakat.
Penguasaan teknologi juga perlu diterapkan dalam pendidikan selain ilmu pengetahuan, karena teknologi menjadikan peran aktif dan proses yang cepat sebagai media pembelajaran. Pendidikan Islam harus berupaya menjadikan atau menciptakan generasi yang unggul dibidang ilmu dan teknologi. Yang kesemuanya perlu kembali kepada ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah dan perlu mengkaji dan mengimplementasikan pada peradaban Islam untuk menumbuhkan kesadaran kritis (critical consciousness).
Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi dua yaitu ilmu aqal (akal) ilmu naqal (wahyu), sedangkan al-Ghazali membagi kepada ilmu laduni dan insani. Ilmu pengetahuan yaitu ilmu yang berurusan dengan obyek-obyek yaag dapat diketahui. Sedangkan sumber ilmu yaitu datangnya dari Tuhan, yaitu merupakan sumber hakiki dan tertinggi (ultimate source) dari ilmu.
Maka dapat diketahui epistimilogi Islam dengan epistemilogi Barat tentang faham kemampuan inderawi akal dan intuisi sangat bertolak belakang dari ajaan Islam, maka terjadi perbedaan faham tentang epistimologi itu sendiri. Maka timbulah Islamisasi ilmu, karena keyakinan bahwa Tuhan adalah sumber segala ilmu. Tujuan Islamisasi ilmu lain adalah untuk melindungi orang Islam dan ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimblkan kekeliruan.
Kritik terhadap Islamisasi datang dari pemikiran Muslim kontemporere seperti Fazlur Rahman menurutnya ilmu pengetahuan tidak bisa diIslamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu tergantung kepada pemaknaannya. Ini menunjukan bahwa Fadzlur Rahman memaknai ilmu sebagai teknolgi (know-how), ketimbang sebagai suatu proses epistimologi.
Maka disini dalam pendidikan Islam pada umumnya dapat memberikan pengajaran perlunya antara ilmu umum dan agar tidak mendikotomikan Islam antara umum dan agama. Pendidikan tidaklah cenderung untuk mundur tetapi pendidikan adalah proses pencarian bukannya membedakan dualisme pemahaman antara tradisional dengan modern.
Previous Post
Next Post
Related Posts

0 comments: