Membincang Nahdathul Ulama atau bisa disingkat NU memang sangat menarik dan mengasyikan. Karena NU merupakan organisasi keagamaan terbesar di negara republik Indonesia ini. NU terlahir dari ranah pedesaan yang kemudia dikenal dengan organisasi tradisional. Lain lagi dengan Muhammadiyah yang terlahir di Jogjakarta yang dulu merupakan pusat ibu kota sehingga nuansa modern hidup, maka Muhammadiyah dianggap sebagai organisasi modern.
Organisasi yang terlahir di desa ini diplopori oleh para kiyai terutama oleh KH. Hasyim Ash’ari dan KH. Wahab Chsbullah. Mengapa kiyai bisa menjadi ikon organisasi NU ini sebab di desa kiyai merupakan pangeran piningit yang di percaya masyarakat menjadi panutan atas petuah dan ajarannya. NU mengajarkan tentang segala hal peraturan di desa sehingga masyarakat mampu menerima dengan legowo (pasrah). Sistem universal keagamaan dibangun atas dasar multikultural sehingga ajaran Islam dapat merangkul adat istiadat di masyarakat.
Aku mengenal NU sejak kecil, didalam rumah ada logo bergambar Nahdatul Ulama dengan bumi yang di kelilingi bintang-bintang yang berkilau mesra. Sehingga dapat membuat kesimpulan sendiri bahwa keluarga kecil ini adalah NU. Apa lagi ketika melihat ritual di masyarakat baik istigosah, ziarah kubur maupun tahlilan masih terasa di masyarakat dan itu merupakan ikon ajaran NU. Sehingga ajarannya sangat melekat pada diriku.
Bahkan anehnya sejak kecil dihadapakan pada persolan tradisi kultural yang termanifestasikan ke dalam ajaran Islam. Seorang anak desa harus belajar kepada kiyai di kampungnya. Tapi diriku tidak belajar ngaji pada kiyai kampung, aku langsung diajar oleh bapakku sendiri. Mungkin karena keluarga besarku memiliki darah biru sebagai salah satu penyebar ajaran NU di masyarakat. Ya…sebenarnya aku juga lom tahu pasti, hal ini bisa dilihat dari nama jalan di desaku yang memakai nama buyutku atau kakek dari bapakku. Bahkan ketika tahlilan penyebutan khususan ila ruhi atau penyebutan arwah yang pertama pasti dari pihak keluargaku. Aneh bukan.
Tradisi NU semakin kental pada darah dan jantungku. Sehingga ketika belajar dari orang tua, selalu diajarkan dengan latar belakang budaya masyarakat. Namun itu hanya berlangsung beberapa tahun. Aku harus belajar menuntut ilmu dan mengkaji NU sejak kecil, dan bahkan aku dikirim untuk belajar di Gersik untuk mendalami ilmu Qur’an. Selanjutnya masa remajaku juga dihabiskan untuk belajar tentang NU. Tepatnya di kota Jombang merupakan pusat pendiri NU itu sendiri.. Masa remaja merupakan masa yang mengasyikan, aku jalani dengan kepercayaan diri dibawah bimbingan kiyai dan para ustas baik ajaran kitab kuning dan kultural budaya.
Banyak belajar tentang tradisi kitab kuning sebagai ikon pesantren. Karena pesantren dengan kitab kuningnya merupakan simbol khas NU. Semoga pesantren tetap menjadi simbol dan basis kekuatan. Karena sekarang ini pesantren diambang keretakan. Hal ini sebagi konsekwensi atas perkembangan modernitas. Banyak berdiri sekolah-sekolah modern yang menawarkan gaya model pesantren dan bahkan diasramakan atau menawarkan full day scooll.
Apa lagi sekolah-sekolah pemerintah yang mulai memberlakukan standar kualitas sekolah. Tak pelak maka munculah label sekolah dengan standar nasional maupun internasional. Maka sekolah NU ataupun dunia pesantren dapat mengikuti zaman modern sekarang ini, hal ini sebagai ranah mengikuti perkembangan zaman. Apa lagi masyarakat NU merupakan masyarakat yang tersebsar secara kualitas. Akan tetapi juga harus besar dalam sekala kuantitas sumber daya manusiannya.
Aku merasa bertanggung jawab tentang dunia penddidikan di NU. Sebab hampir sebelas tahun aku belajar formalitas di sekolah NU. Maka diriku merupakan bagian yang semestinya mampu memberikan sumbangsih, begitu juga warga NU pada umumnya. Untuk membangun kualitas sumber daya masnusia yang tidak dianggap gaptek (gagap teknologi) dan berjalan pada ranah tradisional. Mereka boleh menyebut kita organisasi tradisonal akan tetapi pemikiran tetap harus modern.
Begitu juga dalam ranah ekonomi. NU memiliki andil besar dalam mengembangkan masyarakat yang dapat menuju kemandirian bangsa. Jika warga NU mampu di berdayakan dan memiliki komitmen untuk dapat membangun stabilitas ekonomi bersama. Maka tidak pelak NU akan memiliki jejaring ekonomi yang kuat guna menopang ekonomi nasional. Apa lagi sekarang eranya pasar bebas, warga NU harus siap dan mampu memanfaatkan momen pasar bebas sebagai ranah awal untuk siap bersaing dengan perekonomian asing atau global.
Pada ranah pemikiran NU sangatlah moderat, ajarannya dapat membaur dikalangan masyarakat dan mudah diterima. Dalam memahami pemahaman kebergamaan kita harus merujuk bahwa Islam merupakan ajaran universal eternal dan bersifat partikular temporal. Dalam artian bahwa pemahaman keagamaan bisa dipahami dengan pemahaman tekstual dan akal sehingga dapat memadu dan dapat menyelesaikan problem keumatan. Yang selalu berlandaskan dengan konsep ahlu sunah wal jamaah.
Pemahaman keagamaan yang transformatif inilah yang dibutuhkan warga NU atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui pemahaman keagamaan yang transformatif dapat membaur dengan adat istiadat setempat. Inilah mutikultural dan plural yang di inginkan demi terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang di ridhoi Allah.
Melalui pemahaman keagamaan yang transformatif ini. NU dapat menerima kultural masyarakat setempat dan dapat menerima budaya asing. Tentu bukan melakukan westernisasi tapi perlu disaring diamabil baiknya. Bahkan jangan sampai mencapuradukan pemahaman keagamaan dengan budaya yang tidak diterima dan pemahaman keagamaaan lain. Karena bisa berakibat pada konsepsi sinkretisme atau pemhaman keagamaan dengan mencapur adukan atau mempersatukan agama. Seperti pandagan Ibnu Arabi tentang konsep kesatuan wujud.
Sebagai warga NU, aku hanya bisa sedikit berkeluh kesah tentang organisasi keagamaan ini. Mungkin jika ditulisakan akan berlembar-lembar halaman dan akan memadati buku-buku di rak almari. Inilah sedikit pandangan warga NU yang hidup di pingiran kota besar menjadi masyarakat yang berusaha menjaga tradisi dan budaya.
Sebagai warga NU, pastilah punya tanggung jawab tersebut. Di sinilah mengapa aku menganggap aku bukanlah kader NU. Karena jika membincang NU sebagai organisasi maka pada ranah sistemnya ada yang namanya sistem perkaderan secara formal. Dan aku terdidik bukan pada wilayah formal maka aku bisa disebut bukan kader NU tapi aku adalah warga NU dalam konteks kemasyarakatn. Dalam kontek organisasi aku hanyalah kader secara kultural yang kiranya mungkin dapat memberikan sumbangsih untuk organisasi ini.
Inilah sekelumit diriku dan NU, semoga bukan menjadi bumerang tetapi pemicu semangat dalam mengarungi pergolakan modernitas dan politik praktis yang semakin menjadi bakteri yang siap meluluh lantahkan jiwa-jiwa militansi warga NU.
Sebagai penutup aku kisahkan sedikit tentang ajaran atau tradisi di NU yaitu ziarah kubur. Ini adalah cerita umum yang sering di dengar:
Gus Dur merupakan orang yang gemar melakukan ziarah kubur ataupun mengunjungi arwah para leluhur. Kemudian ada wartawan yang menanyakan hal itu, ”Mengapa Gus Dur suka ziarah kubur”. Gus Dur menjawab, ”Karena mereka orang mati tidak memiliki kepentingan”.
Semarang , 29/03/10
Saat menghadiri acara diskusi publik.
Pilar demokrasi NU setelah muktamar ke 32 di Makasar atas terpilihnya Ketua Umum PBNU Prof. KH. Said Agil Siraj, MA dan KH. Sahal Mahfud.
Di Hotel Santika yang diadakan kerja sama Wawasan, IBC Fm dan KBR66.
Aku mengenal NU sejak kecil, didalam rumah ada logo bergambar Nahdatul Ulama dengan bumi yang di kelilingi bintang-bintang yang berkilau mesra. Sehingga dapat membuat kesimpulan sendiri bahwa keluarga kecil ini adalah NU. Apa lagi ketika melihat ritual di masyarakat baik istigosah, ziarah kubur maupun tahlilan masih terasa di masyarakat dan itu merupakan ikon ajaran NU. Sehingga ajarannya sangat melekat pada diriku.
Bahkan anehnya sejak kecil dihadapakan pada persolan tradisi kultural yang termanifestasikan ke dalam ajaran Islam. Seorang anak desa harus belajar kepada kiyai di kampungnya. Tapi diriku tidak belajar ngaji pada kiyai kampung, aku langsung diajar oleh bapakku sendiri. Mungkin karena keluarga besarku memiliki darah biru sebagai salah satu penyebar ajaran NU di masyarakat. Ya…sebenarnya aku juga lom tahu pasti, hal ini bisa dilihat dari nama jalan di desaku yang memakai nama buyutku atau kakek dari bapakku. Bahkan ketika tahlilan penyebutan khususan ila ruhi atau penyebutan arwah yang pertama pasti dari pihak keluargaku. Aneh bukan.
Tradisi NU semakin kental pada darah dan jantungku. Sehingga ketika belajar dari orang tua, selalu diajarkan dengan latar belakang budaya masyarakat. Namun itu hanya berlangsung beberapa tahun. Aku harus belajar menuntut ilmu dan mengkaji NU sejak kecil, dan bahkan aku dikirim untuk belajar di Gersik untuk mendalami ilmu Qur’an. Selanjutnya masa remajaku juga dihabiskan untuk belajar tentang NU. Tepatnya di kota Jombang merupakan pusat pendiri NU itu sendiri.. Masa remaja merupakan masa yang mengasyikan, aku jalani dengan kepercayaan diri dibawah bimbingan kiyai dan para ustas baik ajaran kitab kuning dan kultural budaya.
Banyak belajar tentang tradisi kitab kuning sebagai ikon pesantren. Karena pesantren dengan kitab kuningnya merupakan simbol khas NU. Semoga pesantren tetap menjadi simbol dan basis kekuatan. Karena sekarang ini pesantren diambang keretakan. Hal ini sebagi konsekwensi atas perkembangan modernitas. Banyak berdiri sekolah-sekolah modern yang menawarkan gaya model pesantren dan bahkan diasramakan atau menawarkan full day scooll.
Apa lagi sekolah-sekolah pemerintah yang mulai memberlakukan standar kualitas sekolah. Tak pelak maka munculah label sekolah dengan standar nasional maupun internasional. Maka sekolah NU ataupun dunia pesantren dapat mengikuti zaman modern sekarang ini, hal ini sebagai ranah mengikuti perkembangan zaman. Apa lagi masyarakat NU merupakan masyarakat yang tersebsar secara kualitas. Akan tetapi juga harus besar dalam sekala kuantitas sumber daya manusiannya.
Aku merasa bertanggung jawab tentang dunia penddidikan di NU. Sebab hampir sebelas tahun aku belajar formalitas di sekolah NU. Maka diriku merupakan bagian yang semestinya mampu memberikan sumbangsih, begitu juga warga NU pada umumnya. Untuk membangun kualitas sumber daya masnusia yang tidak dianggap gaptek (gagap teknologi) dan berjalan pada ranah tradisional. Mereka boleh menyebut kita organisasi tradisonal akan tetapi pemikiran tetap harus modern.
Begitu juga dalam ranah ekonomi. NU memiliki andil besar dalam mengembangkan masyarakat yang dapat menuju kemandirian bangsa. Jika warga NU mampu di berdayakan dan memiliki komitmen untuk dapat membangun stabilitas ekonomi bersama. Maka tidak pelak NU akan memiliki jejaring ekonomi yang kuat guna menopang ekonomi nasional. Apa lagi sekarang eranya pasar bebas, warga NU harus siap dan mampu memanfaatkan momen pasar bebas sebagai ranah awal untuk siap bersaing dengan perekonomian asing atau global.
Pada ranah pemikiran NU sangatlah moderat, ajarannya dapat membaur dikalangan masyarakat dan mudah diterima. Dalam memahami pemahaman kebergamaan kita harus merujuk bahwa Islam merupakan ajaran universal eternal dan bersifat partikular temporal. Dalam artian bahwa pemahaman keagamaan bisa dipahami dengan pemahaman tekstual dan akal sehingga dapat memadu dan dapat menyelesaikan problem keumatan. Yang selalu berlandaskan dengan konsep ahlu sunah wal jamaah.
Pemahaman keagamaan yang transformatif inilah yang dibutuhkan warga NU atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui pemahaman keagamaan yang transformatif dapat membaur dengan adat istiadat setempat. Inilah mutikultural dan plural yang di inginkan demi terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang di ridhoi Allah.
Melalui pemahaman keagamaan yang transformatif ini. NU dapat menerima kultural masyarakat setempat dan dapat menerima budaya asing. Tentu bukan melakukan westernisasi tapi perlu disaring diamabil baiknya. Bahkan jangan sampai mencapuradukan pemahaman keagamaan dengan budaya yang tidak diterima dan pemahaman keagamaaan lain. Karena bisa berakibat pada konsepsi sinkretisme atau pemhaman keagamaan dengan mencapur adukan atau mempersatukan agama. Seperti pandagan Ibnu Arabi tentang konsep kesatuan wujud.
Sebagai warga NU, aku hanya bisa sedikit berkeluh kesah tentang organisasi keagamaan ini. Mungkin jika ditulisakan akan berlembar-lembar halaman dan akan memadati buku-buku di rak almari. Inilah sedikit pandangan warga NU yang hidup di pingiran kota besar menjadi masyarakat yang berusaha menjaga tradisi dan budaya.
Sebagai warga NU, pastilah punya tanggung jawab tersebut. Di sinilah mengapa aku menganggap aku bukanlah kader NU. Karena jika membincang NU sebagai organisasi maka pada ranah sistemnya ada yang namanya sistem perkaderan secara formal. Dan aku terdidik bukan pada wilayah formal maka aku bisa disebut bukan kader NU tapi aku adalah warga NU dalam konteks kemasyarakatn. Dalam kontek organisasi aku hanyalah kader secara kultural yang kiranya mungkin dapat memberikan sumbangsih untuk organisasi ini.
Inilah sekelumit diriku dan NU, semoga bukan menjadi bumerang tetapi pemicu semangat dalam mengarungi pergolakan modernitas dan politik praktis yang semakin menjadi bakteri yang siap meluluh lantahkan jiwa-jiwa militansi warga NU.
Sebagai penutup aku kisahkan sedikit tentang ajaran atau tradisi di NU yaitu ziarah kubur. Ini adalah cerita umum yang sering di dengar:
Gus Dur merupakan orang yang gemar melakukan ziarah kubur ataupun mengunjungi arwah para leluhur. Kemudian ada wartawan yang menanyakan hal itu, ”Mengapa Gus Dur suka ziarah kubur”. Gus Dur menjawab, ”Karena mereka orang mati tidak memiliki kepentingan”.
Semarang , 29/03/10
Saat menghadiri acara diskusi publik.
Pilar demokrasi NU setelah muktamar ke 32 di Makasar atas terpilihnya Ketua Umum PBNU Prof. KH. Said Agil Siraj, MA dan KH. Sahal Mahfud.
Di Hotel Santika yang diadakan kerja sama Wawasan, IBC Fm dan KBR66.
0 comments: