KETIKA saya berbicara kenikmatan, sesungguhnya saya tidak menginginkan ada segumpal daging yang memilki sifat kesombongan. Maka dari itu saya bicara keumuman apa yang diharapkan oleh manusia untuk selalu mendapatkan kenikmatan. Oleh sebab itu banyak manusia mengejar kenikmatan, sehingga kenikmatan menjadi singasana yang harus di cari dan di duduki. Kursi singasana itu manusia bisa menjadi pegawai negeri, dokter, polisi, wirausaha maupun menjadi buruh.
Bahkan untuk menduduki kursi tersebut manusia bisa bekerja lebih keras lagi dengan melakukan kerja tambahan seperti lembur kerja maupun mengisi waktunya dengan bekerja bidang lain. Namun yang perlu dihindari dari ketidakpuasaan jika manusia berbuat tidak sesuai dengan aturan kehidupan yakni dengan cara korupsi ataupun mencuri yang bukan haknya.
Dengan bekerja saya akan mendapatkan apa namanya “gaji atau pendapatan”.
Sedangkan dari gaji tersebut manusia bisa menikmati kenikmatan. Gaji materi tersebut ia bisa membeli apapun yang ia suka, untuk memenuhi dasar hidupnya. Sandal dan sepatu untuk kaki, kaca mata untuk mata, bedak make up untuk wajah, pakaian untuk menutupi diri dll.
Oleh sebab saya mengatakan bahwa itulah sebagian dari kenikmatan, selain kenikmatan yang ada dalam pikiranku ini. Saya tidak memandang kenikmatan alam semesta ini tanpa mata, saya tidak bisa bicara dan ngoborl tanpa adanya mulut. Saya tidak bisa mendengarkan lantunan musik tanpa adanya telinga dan lain sebagainya yang melekat pada diri kita; tangan, hidung, otak, kepada dll.
Jadi jika saya mendapatkan gaji besar di kantor, ternyata saya tidak bisa membeli apa yang melekat pada diri saya.
Sebab gaji yang saya dapatkan dari bekerja tak lain hanyalah peran dari apa yang melekat pada diriku ini; mata, telinga, tangan, kaki, pikiran dan lain sebagainya.
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152)
0 comments: