Lautan ilmu itulah arti dari kata bahasa arab “Bahrul Ulum”, sebuah pesantren kecil yang ada di daerah terpencil tepatnya di kota Jombang. Kota santri sebutanya karena di kota ini berdiri berbagai jenis pondok pesantren, dari yang paling modern hingga sampai yang salaf. Pondok pesantren Bahrul Ulum terletak bentangan sawah-sawah yang dipenuhi dengan suara kicau sang burung kecil. Di desa ini sangatlah ramai, karena banyaknya para pendatang untuk menuntut ilmu di sini.
Aktifitas ekonomi yang maju hingga pertanian yang tumbuh subur, penduduknya yang ramah membuat desa ini menjadi desa yang terkadang tak dapat di lupakan sebagaian santri yang telah tamat dari pesantren. Para alumni sering sekali mengunjungi desa ini, walaupun hanya sekedar ingin sowan ataupun ingin ke makam salah satu pendiri Nahdhatul Ulama, Mbah Wahab Hasbullah.
Desa yang mempunyai nilai magis, ya…mungkin seperti itu sebab orang yang mengenalnya tak akan lalai. Orang akan menikmati keindahanya, ilmu yang di ajarkan selalu membawa kenangan. Hingga pergolakan kotor tak pernah menjadikan lupa hingga sampai perbuatan yang begitu memalukan tak akan pernah hilang di telan waktu. Inilah desa Tambakberas desa yang memiliki ciri khas unik di penuhi barakah dan manfaat. Cinta di desa ini akan memberikan ketenangan batin bagi mereka yang mau berfikir.
Tambakberas dengan sungai di balik keruh sampah tetap membuat orang berfikir dingin melihatnya. Sungai itu mengalirkan bau yang begitu menyengat hidung akan etapi bau itupun hilang di telan oleh perilaku ahklak kaum santri yang menuntut ilmu. Tambakberas dengan bangunan kuno terletak di antara sungai dan lapangan hijau tapi kini nasibmu telah berganti waktu, diganti dengan bangunan penuh nuansa ramai biar begitu rindunya akan lenyap karena berkah para pendiri pesantren.
Komplek kecil itu di hiasi taman berbunga milik Abah Yai Sulton Abdul Hadi, namun itulah halaman untuk menuju komplek kedamainan. Walaupun engkau jauh dari jalan raya tapi tempatmu sangat cocok untuk mereka yang sedang memperdalam ilmu yang bermanfaat. Sungguh demikian, komplek kecil itu menerbitkan cahaya yang terang. Mentari pagi selalu menghiasi alam raya ini. Bintang dan rembulan selalu mengiringi lamunan santri memuja hadirnya sang malami.
Komplek El-Hixa itu namanya, komplek kecil berpenghuni hampir dua puluh santri dengan berbagai macam asal usul.. El-Hixa adalah wisma kedamaian, karena komplek mungil itu telah melahirkan sosok-sosok penting nantinya untuk merubah tatanan masyarakat. Komplek El-Hixa menghadap mentari dan embun pagi selalu menghiasi bunga dan tumbuh-tumbuhan di sekitar halaman komplek. Begitu menawan basahi mata yang akan memandang nikmat dunia.
Di komplek itulah persaudaran tiga manusia berbeda telah di satukan dengan namanya kata cinta. Mereka berbagi suka dan duka di sana, di gubuk kedamaian. Sesungguhnya tali persahabatan dibangun karena ikatan persaudaraan sesama muslim. Seharusnya begitu, sebab banyak umat Islam yang belum mengerti arti persahabatan dengan sesama. Malahan mereka saling menuduh, melawan, terjadi pertentangan, dan bahkan mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Sunguh sangat ironi jika kita sesama umat Islam saling tuduh-menuduh dalam kebohongan. Padahal sungguh indah sekali perbedaan itu sebab dengan pebedaan kita bisa saling memahami dan untuk saling mengerti.
”Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri”. (Ali-Imran ayat 52).
Persahabatan adalah ikatan satu hati untuk dapat saling mengisi kekurangan. Begitu juga seperti Nabi Isa mencari sahabat untuk menegakan agama Allah. Tidakkah kau lihat kita telah diajarkan untuk bersahabat..!. Tidakakah kau rasakan dengan rasa persatuan akan memberikan kekuatan yang lebih, dari pada engkau berdiri sendiri..!
Sebuah realitas tanpa batas, tempat tinggal tiga bersaudara antara Malik, Agus dan Fahmi. Namun demikian komplek pesantren ini akan menerbitkan cahaya terang. Cahaya terangnya akan menundukan terangnya matahari dan sang bulan. Sahabat mari kita lanjutkan perjalanan ilmu ini menuju keharibaan yang lebih tinggi, untuk itu kalianlah yang akan menentukan nasib diri kalian. Secuil cahaya atau beribu-ribu cahaya hanya kau dapatkan dengan kerja keras dan istiqamah dalam belajar di lautan ilmu ini.
* * *
Waktu seakan memutar dengan cepatnya, jam setengah delapan malam pelajaran di Madrasah Diniyah akan membawa mereka dalam kegiatan rutinnya di lautan ilmu. Sehabis shalat Isyak dan berzikir para santri pergi ke kamar masing-masing. Di persiapkannya alat tulis dan tentunya yang tidak dilupkan sebuah kitab kuning. Sebuah nama yang sudah dikenal di dunia pesantren ”kitab kuning”, yang berarti buku berwarna kuning. Karena buku tersebut berbalut kertas-kertas warna kuning, halus seperti khot yang terdapat di dalamnya.
”Gus, Mi, ayo cepat, tu…Ustad Sobirin sudah datang. Kalian ini tidak sekolah, tidak madrasah apa lagi rapat pondok datangnya selalu telat. Mungkin sudah kebiasaan kita kali yeee...heeee”.
”Ya...iyalah, kita itu harus berbeda dengan santri lain, walaupun bergaya berbeda tapi kita harus menunjukan kelebihan kita masing-masing”, gaya bicara Agus yang selalu aneh dan nyeleneh.
Huzzzzzzzzzz hembusan nafas Fahmi terdengar. ”Emang ada apa to Mi”, Malik mendekatinya.
”Kalian berdua tu dari dulu itu tidak pernah berubah. Kita seharusnya ya harus bersikap disiplin dan tanggung jawab kepada waktu. Aku sepakat jika kalian berbeda, kita memang tercipta dengan berbagai perbedaan. Aku juga sepakat walau tampak fisik berbeda, tapi kita harus tunjukan ilmu dan amal-amal lebih baik dari mereka”. Tegas Fahmi.
”Dan tatkala dia cukup dewasa kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. (yusuf ayat 20)
Setiap manusia tercipta dari keunikan dan keunikan tersebut harus dibalut dengan pembersih jiwa supaya mereka termasuk golongan orang yang baik. Di lautan ilmu tidak mengajarkan kamu menjadi orang kaya, pandai, politikus, ekonom. Tapi disini engkau diajarkan untuk berakhlak mulia, berperilaku baik dengan alam dan sesama serta selalu bermunjat kepada Sang Esa.
Dengan bergaya sok beda mereka bertiga mulai menuju arena belajar mengajar. Inilah suatu hal yang mereka suka dalam belajar, tidak kenal apa yang namanya seragam seperti seragam sekolah. Hanya dengan kesederhanaan sarung dan peci, terkadang juga di perbolehkan memakai celana. Tergantung kebiasaan masing-masing santri.
Ustad Sobirin mulai menerangkan pelajaran tentang tasawuf dalam Islam. Di pesantren mereka bertiga sudah menempati kelas yang paling akhir. Jadi secara kelas sangat berbeda materi yang di dapat, kalau masih tahap awal para santri akan diberi materi nahwu wadhi, shorof, fiqih, kifayatul awan dan nashohibul ibad. Sebuah kitab-kitab bagi santri pemula. Akan tetapi jika mereka sudah menuju puncak tertinggi, para santri akan diberi materi yang lebih berat seperti politik, tasawuf dan ilmu falak.
”Di masa Nabi Muhammad tasawuf sudah dikenal, akan tetapi kaum muslim sebelum mempelajari ilmu tasawuf mereka harus terlebih dahulu memahami ilmu syariat”, ucap Ustad Sobirin. Ustad sobirin merupakan orang kepercayaan Abah Yai, dia sangat pandai dan pintar berdiplomasi. Tak heran Ustad Sobirin menjadi tangan kanan Abah Yai
Tasawuf merupakan ilmu supaya kita memperdalam ke arah pendidikan ruhani, ubudiyah dan perhatiannya tercurahkan kepada hakikat yang tinggi. Maka kita harus mendidik tiga unsur dari tubuh kita berupa ruh, akal dan jasad. Ketiga pondasi tersebut memiliki kebutuhan masing-masing dan dibagi sesuai kadarnya.
Suatu ketika Nabi Muhammad melihat salah satu sahabatnya yang berlebih-lebihan dalam satu sisi, sahabat itu segera ditegur. Sebagaimana pernah terjadi kepada Abdullah bin Amr bin Ash. Ia berpuasa terus menerus, bahkan sampai tidak berbuka, sepanjang malam hanya beribadah, tidak pernah tidur dan meninggalkan istri dari kewajibannya. Lalu Nabi menegur dengan sabdanya:
”Wahai Abdullah sesungguhnya bagi dirimu ada hak (untuk tidur), bagi istri dan keluargamu ada hak (untuk bergaul), dan bagi jasadmu ada hak. Maka masing-masing ada haknya.
”Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (Al-A’raaf ayat 31)
”Kita sebagai manusia biasa tidak izinkan untuk berlebih-lebihan, semua ada porsinya sendiri”, tegas Ustad Sobirin. Gimana semua paham apa yang saya terangkan. Tanpa pikir panjang di pandanginya para santri, tampak mereka sangat antusias dalam mempelajari tasawuf. Apa lagi mereka juga sudah pernah belajar Ikyak Ulumuddin karya Imam Ghazali dan Al-Hikam karya Al-Qusairiy. Di pandanginya tiap santri, ”sekiranya ada yang ditanyakan”, kata Ustad Sobirin kepada santri-santri yang belajar serius.
”Gini, Ustad. Sebenarnya salah atau benar ajaran Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang tentang konsep manungaling kawula gusti, yang menyebutkan bahwa dirinya adalah Allah”, tanya Ardi. Salah seorang santri yang pintar dalam mengajukan pertanyaan.
”Dari kalian siapa yang berani menjawab pertanyaan Ardi tentang konsep manungaling kawula gustinya Syeh Siti Jenar”, Ustad Sobirin melontarkan pertanyaan kepada santri lain.
”Menurut pendapatku, ajaran Syeh Siti Jenar adalah kebenaran hakikat. Sebab dia telah mencapai puncak keruhanian. Seperti kalimat ”man arafa nafsah faqat arafa rabbah”, barang siapa yang mengenal dirinnya maka ia akan mengenal Tuhannya. Jadi pada dasarnya Syeh Siti Jenar telah mengalami peleburan jiwa dengan sang khalik”, Malik menjawab pertanyaan itu dengan menggebu-gebu
”Kita harus tahu konteks sejarah dulu, disebutkan bahwa Syeh Siti Jenar dihukum mati oleh para Walisongo. Karena telah menyalahi syariat yang menggap dirinya adalah Allah. Maka dari konteks ini secara lahiriah ajaran Syeh Siti Jenar adalah salah, akan tetapi secara harfiyah dia telah mencapai kehariabaan Allah yang tertinggi. Kalau dilihat secara pembelajaran untuk golongan awam itu adalah salah. Tak pelak walisongo menghukumnya”, kata Agus dengan gayanya yang berbeda
Fahmi ikut-ikutan angkat bicara dalam pandanganya mengatakan, ”kalau kita membincang benar dan salah, itu semua ada ukurannya. Pada dasarnya semua ada kadarnya. Bagi Syeh Siti Jenar kebenaran itu karena dia telah mengalami perubahan diri melalui pensucian ruhaniyah. Tapi jika ajaran itu digunakan atau mengaku dirinya Allah untuk orang yang belum mencapai tingkat itu adalah salah. Pada konteks ini penyatuan ruhaniyah antara dia dengan Allah adalah kebenaran sebab pada diri manusia terdapat sifat jamaliyah dan jalaliyah Allah”.
”Bagaimana Ardi, apakah sudah puas atas jawaban dari Malik, Agus dan Fahmi”, ucap Ustad Sobirin kepada Ardi. Di rasa Ardi sudah mulai memahami, akan tetapi tentu sebagai seorang santri ingin mendapatkan jawaban dari gurunya langsung. ”Ok....ketiga jawaban itu sangat bagus dan berdasar”.
”Seperti keteranganku sebelumnya, bahwa setiap manusia memiliki porsi. Dalam ilmu tasawuf pendidikan jiwa atau ruhani lebih diutamakan. Secara jasad tubuh kita ada porsinya, akalpun ada sisi-sisi kelemahan dan hati merupakan puncak kesucian. Maka ketika Syeh Siti Jenar mendidik hatinya maka ia telah mengalami kemulyaan tertinggi di sisi Allah. Sedangkan ajaran tentang manunggaling kawula gusti bukanlah pengakuan diri menjadi Allah, akan tetapi perpaduan sifat Allah kepada insan. Kita tidak boleh memaknai diri kita adalah Allah, setidaknya pada diri kita ada diri Allah berupa sifat-Nya.
Jika ajaran ini sebagai ilmu kalam maka akan terjadi perdebatan yang sengit, sebab dari kajian fiqh hal tersebut tidak ada dan ulama fiqhpun tidak memperhatikan hakikat dari segi ibadah ruhani, mereka cenderung berkerja pada wilayah lahiriyah saja. Padahal ajaran seorang sufi ada hal baik yaitu berupa madrasah jiwa, sebab masyarakat bahkan negara sangat membutuhkan sifat itu. Mereka rindu dengan ahlak dan sifat-sifat yang luhur serta jiwa yang ikhlas.
Namun dari sekian ajaran tasawuf banyak pula orang sufi yang terlalu dalam menjalani ajaran tasawuf hingga ada yang menyimpang dari jalan lurus dan praktek-praktek yang tidak sesuai dengan syariat.
Itulah keterangan akhir dari Ustad Sobirin, para santripun bergegas keluar dari ruang belajar madrasah diniyah. Mereka ramai-ramai berebutan sandal, terkadang sifat jelek kaum santri yaitu suka ngosob (mengambil) barang yang bukan miliknya. Setelah mendapatkan sandal masing-masing para santri berurutan menyalami dan mencium tangan Ustad Sobirin. Kebiasaan ini sudah menjadi tradisi sendiri di kalangan pesantren. Tangan adalah simbol keberkahan, gunakanlah tangan kananmu untuk kebaikan dan tangan kirimu untuk membuang keburukan.
Malik, Fahmi dan Agus sehabis ngaji langsung menuju warung kopi Mak Zuni sambil menikmati tontonan televisi. Namun ada yang lain pada diri mereka bertiga, tanpak Ardi yang tadi bertanya pada Ustad Sobirin ikut nimbrung di meja mereka bertiga. Kebiasaan mereka di warung kopi selain menghilangkan lelah yaitu ngerumpi, namun semenjak kedatangan Ardi hal ini menjadi lain.
”Lik, ilmu tasawuf itu sangat tinggi ya. Tahu ngak ajaran mahabahnya Rabiah Al-Adawiyyah”, ucap Ardi sambil melirik Fahmi dan Agus
Malik hanya terdiam sendiri sambil menikmati seduhan kopinya. Tiba-tiba Agus menjawab, ”ya...jelas ilmu tasawuf itu ilmu yang tinggi sebab disana terdapat ajaran yang paling mulia yaitu supaya terjadi komuikasi yang intens dengan Allah. Kalau ajaran Rabiah Al-Adawiyah aku ngak tahu. Tapi kalau tentang cinta aku sangat memahaminya ha..ha...ha.
Dasar loe Gus, ajaran mahabahnya Rabiah Al-Adawiyah itu tentang konsep tidak adanya neraka dan surga. Maka didalam cerita ia berlari membawa obor untuk membakar surga dan membawa air untuk memadamkan neraka. Pandangannya mengatakan jangan-jangan dalam manusia beribadah adanya harapan untuk mendapatkan surga dan takut karena kengerian api neraka. Jadi sebenarnya dalam kita beribadah itu ada tuntunan cinta yaitu mencintai sang khalik dan segala ciptaanya.
”Ada apa to ini kok ngomongin cinta”, tanya Malik sambil terheran-heran. Ha... jadi kamu ngak mendengar pertanyaan Ardi ke kamu. Agus ngedumel sendiri sambil membuat bulatan pada sebatang rokok yang diolesi serbuk kopi.
”Oh...gitu, maaf deh kalau gitu”. Sorry ya Ar, gimana mau melanjutkan diskusinya. Mendingan jangan ha...ha...ha... Tingkat ajaran mahabah adalah tingakat tertinggi dibanding ajarannya Hasan Al-Basri yang hanya pada samapai tingkatan raja’ dan khauf’. Malik mulai ikut sinis, tapi sangat mengasyikan jarang-jarang ngopi sambil ngomongin hal tasawuf.
”Ya gitu deh, kalian ini sebenarnya pandai. Cuman tingkah kalian itu lho yang aneh. Semenjak aku sekelas sama kalian bertiga di madrasah diniyah. Aku tidak melihat keseriusan kalian dalam belajar, tapi aku sangat kagum pada kalian bertiga yang berani menjawab pertanyaan dengan lantang dan ilmu-ilmu yang tidak terduga. Apakah sebenarnya kalian ini suka baca buku dan kitab”, Ardi terheran-heran kepada mereka bertiga
Setiap manusia memiliki kelebihan masing-masing, janganlah memandang dari sisi lahiriyah saja. Seperti yang diterangkan Ustad Sobirin ulama fiqh lebih suka melihat bentuk lahiriyah dari pada hakikat ruhani, ucap Fahmi dengan perlahan-lahan. Agus dan Malik hanya bisa terdiam bisu.
Pada dasarnya kita disuruh untuk belajar sampai akhir hayat atau sampai ajal ini menjemput. Kitapun diperintahkan untuk banyak membaca, seperti wahyu pertama surat Al-Alaq, ”iqra, bismirabik”. Bahwa sesungguhnya kita diperintahkan untuk membaca diri dengan menyebut asma Allah. Tapi sekarang manusia telah terlena kepada kenikmatan sementara berupa materi, sebenarnya mereka sudah membaca. Sehingga dari kepandaiannya membaca ia dapat mudah mendapatkan materi yang banyak, namun karena membacanya hanya berbentuk literel tanpa menyebut nama Allah. Akhirnya mereka hanyut pada kenikmatan yang semu.
0 comments: