Sunday, March 15, 2009

Ikatan Sahabat Ashaabul Ukhdud (Part 3)

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan generasi pemimpin di bumi. Di berikannya segala kelebihan dan kemulyaan pada dirinya. Agar ia mampu menjadi manusia yang dapat memakmurkan semesta ini dengan rasa kedamaian. Generasi pemuda merupakan orang yang telah dimulyakan oleh Allah, Islam sangat menghargai, memuliakan, memperhatikan dan mendukung pemuda untuk selalu berjalan di samudra yang lurus.
Termasuk pemuda pesantren yang menjalin tali persaudaraan untuk menuntut ilmu dengan penuh keikhlasan dan kesabaran atas segala ujian. Al-Qur’an telah menceritakan tentang kisah yang sangat mulia untuk menjadi tauladan, merekalah pemuda ashaabul kahfi sekelompok pemuda yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Kisah ashaabuk kahfi yang rela meningalakan pola masyarakat yang tidak sesuai dengan tradisi dan nilai-nilai Islam. Kelompok pemuda tersebut kemudian meningalkan negerinya dan mencari tempat pelindung di dalam gua dan mereka berdoa:
“Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”. (Al-Khafi ayat 10)
Sehingga Allah menyelamatkan kelompok pemuda tersebut dengan menidurkan selama hampir 309 tahun. Dalam kisah ashaabul kahfi yang terangkai indah di dalam al-Qur’an menceritakan, kelompok pemuda yang tegar dalam keimananya dan tidak ingin terjerumus pada masyarakat yang cenderung bersikap jahiliyah. Sehingga tradisi masyarakat di zaman ashaabul khafi yang lebih bercorak pada kejahilihan di binasahkan oleh Allah dengan diceburkan ke dalam parit berisi api yang bergejolak.
Masih banyak kisah generasi pemuda yang seharusnya menjadi contoh generasi pemuda muslim sekarang, sebab merekalah kekasih dan pilihan Allah yang selalu menjaga keimanannya hanya untuk Allah semesta alam. Era Rasullullah saja yang menjadi pendampingnya dalam menyebarkan agama Islam ke plosok negeri adalah para pemuda yang kemudia di kenal dengan assabiqun awwaluun (orang-orang yang pertama kali beriman).
Sebagai generasi pemuda yang mengemban amanah menjadi khalifah di bumi seharusnya menyadari arus globalisasi yang banyak mencengkram pemuda sekarang dalam ketidakberdayaan pada nilai islam. Mereka lebih memilih budaya barat yang lebih menonjolkan sikap individualisme dan prakmatisme serta bercorak sikap liberalis yang lebih memuja sikap hura-hura, foya-foya dan menikmati hidup untuk hari ini bukannya memandang keesokan hari.
“Fahmi, kemana ya kok ngak kelihatan”, tanya Agus kepada Malik. Sambil di pandanginya sekitar kamar yang nampak kontor.
“Mungkin lagi membeli rokok”, jawan Malik, pendek.
“Kamu masih ingat sama Ardi, temen kita di madrasah diniyah”
“Ya...masih dong, walaupun kita sudah selesai dalam menjalani madrasah diniyah. Dia kan tinggal di dekat komplek kita. Emang ada apa ya kok ngomongin dia”, Malik balik bertanya.
“Dengar-dengar dia telah kehilangan tabungannya dan bahkan uang yang ia dapatkan dari kiriman orang tuanya kemarin juga ikut ngak ada”, Agus bercerita.
“Terus, apa masalahnya dengan kita. Apa kita mo membantunya, lha wong kita saja makan dua kali sehari saja sudah untung”, jawab Malik agak sinis
Agus hanya bisa tersenyum kecut. Dia tidak tahu harus menjelaskannya seperti apa. Tak pelak Agus hanya bicara dalam hatinya. Tak biasanya Malik bersifat seperti ini. Malik tiba-tiba berpaling berdiri sambil dibawanya secarik kertas dan pena. Mereka bertiga adalah sahabat yang sulit dipisahkan, datangnya Ardi di area persahabatan menambah kegembiraan tersendiri. Namun kenapa Malik bisa seperti itu.
“Fahmi, kok lama banget ya perginya.....?”, tiba-tiba Agus bertanya kembali.
“Ah...aku lagi males nih, bentar lagi juga dia datang”.
Malik tiba-tiba tertawa. Ia berkata, “eh...Gus kenapa sih kamu, pasti penasaran sama aku ya. Ya...iyalah pasti kan, sorry Gus aku lagi sibuk mempersiapkan teks puisi untuk festifal gelar budaya antar komplek di pondok pesantern kita ini. Lha...aku itu ditunjuk oleh Ustad Sobirin untuk membuat puisi dan melakukan deklamsi diatas panggung yang telah berdiri di depan kantor yayasan itu lho...
“Oh...gitu ta, tak kirain ada masalah apa...’, ah kamu ni Lik, ada-ada aja. Tapi kok kamu ya yang ditunjuk Ustad Sobirin.
“Lha siapa lagi kalau bukan aku, kamu atau Fahmi...”, Malik agak sok bergaya sombong. Tapi aku akan mengajak kalian semua termasuk Ardi untuk ikut memeriahkan festifal baca puisi. Maka dari itu aku baru mempersiapkan teksnya. Tadi kamu ngomongin Ardi ya, lantas enaknya gimana. Atau kita berkunjung ke kompleknya. Tapi dari tadi Fahmi kok belum juga datang.
“Wah...bagus dong, tapi kita sebagai sahabat juga harus membantu teman yang lagi kesusahan. Apakah kita perlu menungu Fahmi datang. Tapi kalau baiknya sih kita menungu, akan tetapi lebih baik kita kesana dulu. Atau jangan-jangan Fahmi sudah disana, kan dari tadi kita tunggu belum juga datang.
Malik dan Agus keluar dari kamar dan langsung menuju tempat kopleknya si Ardi. Hati mereka semakin penasaran orang sebaik Ardi kok ada yang tega-teganya mencuri uangnya. Pa...ngak pada kasian, Ardi kan anak orang yang kurang mampu. Dalam prisnsip hidupnya walaupun tidak ada uang ia tetap harus semangat untuk belajar menuntut ilmu. Tak henti-hentinya mereka berguman sendiri-sendiri.
Tiba-tiba dari kejauhan nampak Fahmi berlari kenjang menuju ke arah mereka berdua. Terlihat pula dibelakang mereka segerombolan santri membawa senjata. Fahmi jatuh tersungur beberapa meter dari mereka berdua. Malik dan Agus segera menghampiri Fahmi, namun belum sempat mendekati. Tiba-tiba gerombolan santri itu memukuli Fahmi. Wajah dan sekujur tubuhnya keluar darah merah kental...tetesan kringat menjatuhi bumi. Ada apa ini, apakah bumi ini memang suka dengan darah perkelahian.
Agus segera berlari kencang. Kakinya ia terbagkan seperti tendangan kaki seribunya aktor mandarin Jeet Lee. Kakinya sampai kepada salah satu santri, santri tersebut jatuh tersungkur hingga beberapa meter. Di peluknya tubuh Fahmi dalam dekapan tubuh Agus. Malik juga ikut-ikutan, walapun tubuhnya kecil tapi mentalnya sangat berani apa lagi ini semua untuk sahabatnya.
Perkelahian antar santripun terjadi. Tiga sahabat melawan segerombolan santri yang berjumlah hampir 12 orang. Namun Malik dan Agus tak kuasa melawan mereka. Keduanya ikut tersungkur. Pukulan bogem mentah telah menghantam mereka berdua. Nampak darah keluar dari hidung mereka.
Terlihat Fahmi yang berperawkan tinggi besar tak kuasa melawan mereka. Hantaman kayu, hantaman tangan dan tendangan, meluluhkan tubuhnya. Tak kuasa melihat sahabatnya di perlakukan seperti itu, Malik dan Agus memeluk tubuh Fahmi yang sudah tidak berdaya.
“Heee....heee hentikan”, dari kejauhan nampak Ustad Sobirin berteriak lantang kearah mereka dan beberapa santri mengikuti dibelakangnya.
“Ada apa ini”, kalian ini disini itu untuk belajar bukan untuk berkelahi tanya Ustad Sobirin kepada mereka.
Sekejab waktu perkelahian itupun terhenti. Darah-darah merah sudah memenuhi tubuh mereka. Gerombolan santri komplek sebelah lantang berteriak kearah Ustad Sobirin. Salah satu dari mereka sekejab berkata tanpa pandang bulu dan melihat siapa dia.
“Ustad, janganlah kau ikuti-ikutan dengan masalah kita. Ini urusan kita dengan dia”.
Merekapun mendadak menyerang Ustad Sobirin, pukulannya hampir saja mengenai muka. Ustad Sobirin dengan sigap menangkis, namun santri yang dibelakangnya segera menyerang balik. Terjadilah pertarungan santri yang berbeda komplek ini. Layangan pukulan dan tendangan sudah menghitamkan sisi-sisi kompleks. Untung saja tidak terdengar oleh Abah Yai, mungkin sedang keluar kota. Perkelahihan ini sudah tidak terelakan.
“hentikaaaaaaaaaaannnnnnnnnn”, perkelahian sejenak berhenti. Dentuman suara layaknya auman singa menyebar lengking ke telinga para santri.
“Apakah ini perilaku kalian. Maen hakim sendiri, apa di pesantren tidak mengajarkan etika dengan sesama manusia. Sebenarnya ada masalah apa, kalau ada masalah apa tidak bisa diselesaikan dengan cara damai. Kok kalian malahan mengunakan cara kekerasan”, dengan ketegasan dan wibawanya Ustad Sobirin semakin kesal dengan mereka. Apa lagi yang menjadi korban adalah muridnya sendiri.
“Santri anda telah berani mencuri uang di komplek kami. Maka dari itu kami tidak terima jika komplek kami jadi sasaranya”, tanpa pikir panjang bahasa kasar telah keluar dari mulut seorang santri.
“Apa buktinya, kalau Fahmi telah mencuri uang teman anda”, Ustad Sobirin bertanya balik
“Kalau tidak percaya, tanya saja sendiri pada cecunguk jelek ini”,
“Fahmi, apakah kau benar-benar telah mencuri uang teman mereka”, tanya Ustad Sobirin
Mereka bertiga berdiri lantang. Dengan tegas walaupun darah telah menghitamkan tubuhnya. Suara-suara lirih itu muncul.
“Saya tidak mencuri, Ustad. Tiba-tiba mereka menyerangku. Padahal saya hanya ingin berkunjung untuk menemui Ardi”, dengan terbata-bata Fahmi bicara.
“Lihat...lihatlah, dari mana kalian bisa menuduh Fahmi jadi tersangkanya. Coba panggil Ardi kemari”, Ustad Sobirin semakin penasaran dengan tingkah semena-mena meraka.
Terlihat Ardi dan temanya sudah berjalan mendekati mereka. Sebenarnya Ardi tak kuasa melarang teman-temanya untuk menghakimi Fahmi. Sifat arogan temannya yang cenderung fanatik sempit, tentu saja ingin membela teman satu komplek. Apa lagi terkadang ini juga menyangkut harga diri.
Malik dan Agus semakin penasaran. Apa lagi masalah ini adalah masalah yang baru ia perbincangkan di kamar.
“Maafkan aku Fahmi, mungkin aku yang salah, tapi aku tak kuasa membendung mereka. Aku percaya padamu. Kalau Fahmi tidak mengambil uangku”, dengan tegar Ardi angkat bicara
“Sudah pantaskah kalian berperilaku seperti ini, Ardi saja sudah mengangap Fahmi bukan tersangkanya. Terus dari mana kalian berani melakukan tidakan seperti ini”, pandangan mata tajam menghampiri mereka.
“Buktinya dia sering datang ke komplek kami. Padahal sebelumnya belum pernah terjadi pencurian di komplek kami. Semenjak kedatangan dia ada saja barang yang hilang”, salah satu dari mereka berani angkat bicara.
Air mata menetes di pipi Ardi. Rasa iba dan penyesalan nampak pada wajah. Ardi, ia hanya bisa meminta teman santrinya untuk tidak memperlakukan temanya Fahmi seperti ini. Ardi berkata, “aku ikhlas kehilangan uang, maka akhiri perselisihan ini”.
“Masalah sudah beres”, kata Ustad Sobirin. Jadi kalian semua bisa kembali ke komplek dan jangan lupa koreksi diri kalian. Di pesantren kita diajarkan untuk berbelas kasih dengan sesama.
Merekapun berlalu pergi. Ustad Sobirin hanya bisa berkata pada Fahmi dan Ardi serta tak lupa Malik dan Agus, “jagalah diri kalian, saya menggap masalah ini adalah masalah yang terkadang sering terjadi sebelum kalian mondok di sini. Jagalah diri kalian dan rasa persahabatan kailan suatu saat kalian pasti akan mendapatkan yang terbaik”.
“Kamu ngak apa-apa, teman”, Ardi memendekati Fahmi
“Nggak apa-apa kok, terima kasih ya Ar”, ucap Fahmi
“Mi...Mi, tadi aku barusan ngomongin kamu tentang masalah Ardi. Eh malahan kamu jadi korbannya”, pekik Agus dan Malik
“Maafkan aku sobat, gara-gara aku kalian juga ikut-ikutan kenak bogem mentah. Ar, kenapa sih kamu percaya kalau aku bukan pencurinya”, dengan rasa terharu Fahmi melantunkan kata-kata ke hadapan Ardi
“Aku percaya padamu, termasuk kalian berdua. Aku sudah mengenal baik kalian semenjak kita belajar bareng di madrasah diniyah yang di asuh Ustad Sobirin. Walaupun tingkah kalian yang terkadang agak nyeleneh dan beda dengan orang lain. Aku percaya sesungguhnya hati kalian sungguh mulia. Lha...sahabatmu, Malik dan Agus saja rela ikut menanggung beban luka. Sungguh mulia persahabatan kalian, walaupun aku hanyalah teman ngaji. Apakah aku boleh meminta sesuatu pada kalian, bolehkah aku menjadi sahabat kalian yang bukan hanya sekedar teman”, Ardi meminta ikatan sahabat kepada mereka bertiga.
Tanpa pikir panjang mereka bertiga serentak mengucapkan. Ya....., Ardi adalah sahabat kita. Kepalan tangan dan pelukan manis merengkuh ke tubuh mereka berempat. Kini sayap-sayap itupun bertambah. Kepalan ikatan jalinan kekuatan semakin menambah semangat rasa tali persaudaraan untuk menjalin kasih dan sayang diantara mereka. Seekor burung keluar mencari sesuap makanan untuk anaknya, sedangkan mereka berempat berani keluar untuk menjalin keakraban. Kini mereka telah merasakan bagaimana sakitnya jika satu sahabat terluka, sahabat yang lainpun juga akan merasakan dirinya terluka. Tida yang paling indah selain persahabat ashaabul ukhdud.
I”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (An-Nahl ayat 90)
* * *
Ketika ikatan persahabatan telah bergema diatas singasana samping komplek El-Hixa, para malaikat hanya bisa tersenyum tersipu. Semoga para malaikat melantunkan dzikir cinta untuk mereka. Keempat pemuda itu sangat riang wajahanya, walaupun ada dari mereka warna merah dan biru menyelimuti wajahnya. Seorang pemuda dari komplek sebelah yang memiliki nama Ardi ini serasa mendapatkan surganya kembali, mendapatkan apa yang dia inginkan. Walapun harus melewati rintangan semacam ini.
Begitu pula sebaliknya Malik, Fahmi dan Agus. Serasa mendapatkan hikmah yang sulit dibayangkan, mendapatkan sahabat melalui babak belur seperti ini. Mereka tertawa terbahak-bahak.
Lihatlah, betapa mereka berempat telah menemukan kebahagiaan. Mereka berempat laksana arah mata angin, membuat siapa saja yang melihatnya merasa ngiri. Rasanya mereka ingin memamerkan ikatan persahabantannya. Mereka ingin juga bermimpi suatu saat di surga dapat di pertemukan dalan keindahan bingkai gugusan mata angin.
Ketahuilah, sesungguhnya ikatan sahabat adalah satu rasa satu jiwa. Sedangkan yang merusak persahabatan adalah berbuat maksiat. Sedangkan kemaksiatan merupakan racun hati. Jika hati tali persahabatan kotor akan menyebabkan kehancuran dan akan menambah perih luka yang terkadang sulit untuk di lupakan. Maka jagalah hati ini untuk mempererat tali persahabatan.
Mereka terus saja bermimpi dalam pelukan ikatan persahabatan. Terutama Ardi yang nampak kegirangan mendaptkan sahabat yang ia harapkan. “terima kasih Ya Allah, melalui peristiwa ini aku mendapatkan sesuatu yang lebih berharga”.

* * *
Previous Post
Next Post
Related Posts

0 comments: