Membaca puisi buku Memo untuk Presiden di Rumah Budaya Kalimasada Blitar |
Saat ini melukis batu dan daun adalah
menyongsong keelokan baru. Tentang kecemasan dan kemerdekaan bagian tak
berbentuk. Tumpahnya darah dan air mata mengulang episode tersisih dari
kedaulatan.
Merasa asing satu sama lain bersembunyi
di balik batu dan daun. Melucuti bahwa ini kesalahan bersama. Kini batu dan
daun telah berubah warna tak mampu memelihara bacaan alam. Dari pada beradu mulut
dan bersolek politik kerakyatan.
Merasa telah diperlakukan tidak
adil atau memang kalah adanya. Adakah cara lain mengubah tanah tandus menjadi
taman bunga dengan keindahan batu dan daun. Hal ini memanusiakan alam menyampaikan
pesan kehidupan.
Kesertaan batin menepati
kata-kata cerita perbudakan, hubungan sosial adalah kontrak tertanda rakyat dan
sang penghianat. Jangan kau merubuhkan batu jangan kau menjahanamkan daun. Jujurlah
kepada batu kepada daun.
Batu dan daun adalah dekorasi
semesta tercipta untumu mudah kau rusak tetapi sulit kau kembalikan apa adanya.
Jika kiranya otakmu adalah batu jika siapa tahu tubuhmu adalah daun. Ataukah
kita tercerai-berai berserakan di mimbar tak mengenal tuan bahkan tuhanpun
terlalai.
Bukan bagian dari sampah pengarang
cerita tentang baik dan buruknya. Adalah penulis kisah cinta kasih alam raya menyandang
sang khalifah. Batu kecerdasan daun berpengetahuan
penggagas ide pembebasan.
Karena batu dan daun adalah
kita. Kita bersama kita berbudaya. Kita satu jiwa dan raga.
Semarang, 08/8/2015
0 comments: