Tuesday, July 20, 2010

Dekonstruksi Perempuan dalam Keluarga


PEREMPUANLAH, yang di keluarga biasa dipanggil dengan sebutan ibu, yang memberikan ketenangan dan kasih dan sayang pada anak-anak. Mereka, dan bukan lelaki, yang jadi pemimpin rumah tangga. Namun justru merekalah yang sering menerima kekerasan dalam rumah tangga. Peran serta derajat dan martabat mereka dilecehkan.

Di rumah tangga, peran dan kedudukan perempuan acap terpinggirkan. Perempuan mengalami tragedi yang muram dan memprihatinkan.

Pada zaman Yunani dan Romawi, perempuan dianggap pembantu atau budak yang tak memiliki hak apa pun. Di Arab sebelum masa kerasulan Muhammad, posisi perempuan sangat dibenci.
Perempuan yang melahirkan anak perempuan dianggap menimbulkan beban berat dan pembawa malapetaka.

Maka, orang tua boleh membunuh anak perempuan.
Kini, perempuan rumah tangga sering terjebak arus globalisasi. Perempuan-perempuan itu cenderung hedonistis karena selama berkutat di rumah tangga sering menerima informasi dari televisi atau media masa yang mengonstruksi cara pandang mereka. Mereka terjebak iklan karena media lebih banyak menampilkan produk bagi perempuan.Perempuan menjadi lebih sibuk belanja dan konsumtif. Itu mengembalikan mereka ke wujud penindasan lain, yakni hedonisme yang berujung ke kekerasan dalam rumah tangga.
Merusak Citra Hedonisme dalam berumah tangga merusak citra perempuan. Mereka tersihir untuk tampil indah, seksi, atau feminin. Akibatnya, mereka lebih fokus pada bentuk dan penampilan. Bukan pada peran dan status.

Padahal, rumah tangga semestinya menjadi wahana membangun peradaban baru. Namun, kini, rumah tangga telah meminggirkan peran dan kedudukan perempuan. Studi etika rumah tangga memunculkan sosok perempuan sebagai korban media dan konstruksi sosial yang menempatkan mereka ke wilayah domestik.

Itu memunculkan gerakan feminisme baru dalam skala rumah tangga. Feminisme dipengaruhi filsafat eksistensialisme yang dikembangkan pemikir Prancis, Jean-Paul Sartre. Dalam pandangan Sartre, manusia tak punya sifat alami. Esensi manusia dibentuk oleh kreasi sosial atau dipengaruhi lingkungan.

Pada dasarnya eksistensialisme menolak eksistensi berdasar stereotipe gender lelaki dan perempuan.Eksistensialisme mengajarkan pada perempuan untuk melepaskan diri dari norma patriarki agar dapat menemukan eksistensi, termasuk dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

Perempuan pun melawan. Mereka meruntuhkan adat-istiadat dan hukum yang secara tak adil membatasi kebebasan untuk menentukan diri: bekerja di rumah atau berkarier. Karena itu perlawanan feminisme terarah ke peran, status, dan kedudukan lelaki. Perempuan melawan budaya ciptaan kaum lelaki.

Di negeri ini, Kartini adalah salah satu pioner yang tergugah melawan budaya patriarki. Di Eropa era 1917-1970, para feminis, antara lain Clara Zetkin, pun mempropagandakan pada perempuan yang selalu terintimidasi untuk melakukan aksi mogok atau demonstrasi.

Kini, mengapa perempuan terjebak arus hedonisme saat menjalankan status dan peran di rumah tangga? Padahal, perempuan di keluarga memiliki peran vital. Mereka bukan hanya membesarkan anak-anak, melainkan juga terkait dengan pembentukan peradaban baru.

Eksistensialisme memosisikan perempuan ke wilayah eksistensial; perempuan menjadi orang nomor satu di keluarga untuk mendidik generasi penerus dan tak terjebak budaya praktis kapitalis. Karena itu, kini, adakah feminis yang seberani Kartini dan Clara Zetkin? Ibu rumah tangga yang mampu melakukan perubahan sosial dan melontarkan pandangan baru untuk Indonesia yang lebih bermartabat?

Tak semestinya perempuan rumah tangga terjebak propaganda kapitalis yang menawarkan hedonisme, pragmatisme, konsumtivisme dalam berumah tangga. Perempuan harus bisa menempatkan diri sesuai dengan peran dan status di rumah tangga. Selain, tentu saja, harus mendapatkan hak dalam berumah tangga sehingga mampu menempatkan mereka ke wilayah eksistensial. (51)

- Lukni Maulana, alumnus IAIN Walisongo Semarang, peneliti pada Scientific and Affection (Sciena) College