Sunday, March 15, 2009

Dimanakah Kau Sahabat (Part 5)

Wahai zat yang maha mencipta atas segala sesuatu
Kau jadikan air untuk menghidupkan
Kau jadikan air untuk memusnahkan
Terimalah keluh kesahku ini
Sebelumnya aku ucapkan terima kasih
Karena Engkau telah menciptakan mereka untukku
Dan menjalin ikatan satu hati sampai sekarang ini
Kami dapat menikmati kebersamaan itu
Aku ucapkan lagi terima kasihku
Kami dapat merasakan keluh kesah
Dalam setiap sujudku doaku teruntuk mereka disana
Di tempat yang jauh walau jarak memisahkan
Sucikan hati mereka Ya Rabb, sehingga dapat berkomunikasi denganmu
Dan Engakau memberikan kabar gembira itu untukku
Jangan Kau padamkan api semangat belajarnya
Gantikan rasa kerinduan dan cinta yang bersemayam ini dengan bersama asma-Mu
Aku ikhlas
Aku sabar menanti mereka
Jika Engkau pertemukan aku dengan mereka
Tolong berikan kemulyaan satu hati menyatu
Ikatkan erat aku untuk tidak melepasnya
Untuk saling mengeti, memahami dan menerima akan segala sesuatu
Berikan aku kesabaran, kesunguhan dan kesanggupan untuk tetap bertahan
Menanti hadirnya
Yakinkan bahwa aku sunggug-sungguh menantinya
Aku hanya ingin menerima hadirnya tidak lebih
Sebagaimana Rasulullah dengan sahabatnya
Layaknya Isa yang memohon sahabat untuk mendakwahkan agama
Ya…Rahman Ya...Rahim, rasakanlah petik nada doaku ini
Lepaskan aku dari bingkai perselisihan
Lepaskan rasa penasaran ini
Aku hanya menanti hadirnya
Ajarkan aku untuk tetap menunggunya
Ya Rabb semoga Engkau mendegar irama kasihku
Kamar kecil berbentuk persegi penuh sesak dengan rak-rak buku. Bahkan kursi dan meja ikut-ikutan juga memadati ruangan sempit itu. Beberapa lembar kertas tampak berceceran diatas kasur. Mungkin jika ada yang melihat maka akan tertuju pada keindahan bingkai-bingkai foto. Banyak kenangan didalamnya, bingkai itu dihiasi dengan desain yang sangat memikat. Pandangan mata tiap bingkai seperti mengungkap suatu rahasia. Sangat memiliki nilai. Aneka hiasan kamar memberikan pesona tersendiri.
Aku hanya bisa memandang bingkai foto kenangan. Sejarah yang telah membuktikan persahabatan kita. Aku tidak lagi mampu bertutur kata, adakah yang mampu menjawabnya. Panjatan puisi doa untuk sahabat hanya bisa aku taruh diatas meja. Pandaganku tetap tertuju pada bingki foto yang aku pegang ditangan kasar ini.
Terlihat kami memegang piala anugerah deklamasi puisi diatas panggung. Sebuah ajang kreatifitas santri yang diadakan oleh pondok pesantren dahulu. Nampak dari kiri wajah Agus yang belepotan dengan make up bedak yang terlihat sekali. Kalau boleh sedikit tertawa, memang wajahnya mirip perempuan. Sampingnya Agus adalah Ardi teman beda komplek anak yang sangat cerdas. Rela membantu aku dalam perebutan anugerah tahunan. Orangnya kecil sangat imut. Hatinya sangat baik sekali. Dari kanan terlihat Fahmi yang kelihatan mulutnya yang melebar. Mungkin sangking girangnya. Sedangkan aku terlihat diantar mengankat piala kehormtan itu.
Sungguh sesuatu hal yang tidak mungkin aku lupakan. Banyak hal yang bikin aku tidak dapat melupakan kenangan di pesantren dulu. Kisah tersebut hanya sedikit kisah yang dapat aku telurkan.
Terkadang kita malas berucap. Jika terjadi ketidak sepahaman atau bahkan pendapat. Anaeh memang! Tapi lebih aneh jika dalam hidup ini, kita merasa tidak mendapatkan kenangan. Semua ada pelajaran yang dapat di petik. Tanpa sadar kadangkala dalam hati ini berguman, canda, tawa, sedih, gembira dan bahkan saling menghujat. Siapa yang kiranya dapat membaca hati kecil ini. Janganlah kau protes dengan Illahi, jika persahabatan terkadang harus terpisahkan.
Aku sangat menyadari akan hal tersebut. Aku bangga kepada mereka. Ada pertemuan adapula perpisahan. Akankah aku harus bersedih dan mengeluarkan air mata seperti saat perpisahan kita dulu di lautan ilmu. Tidak! Aku tidak akan bersedih, justru aku bangga pada mereka.
Lihat saja seorang yang bernama Fahmi dengan wajah yang sedikit seram teryata mendapatkan beasiswa melanjutkan studi di Al-Azhar Mesir. Sebenarnya kalau di hitung-hitung keluarga Fahmi adalah orang yang mampu. Jika memang dia tidak mendapatkan beasiswa. Keluarganya sudah siap untuk membiyayainya studi di luar negeri. Bahkan mungkin di negeri Amerika. Dari pihak keluarga sudah mempersiapkan tabungan masa depan untuk anaknya. Sungguh beruntung Fahmi mendaptatkan studi gratis. Bahkan pihak keluarga memberikan jatah tabunganya untuk naik haji ketika kelak dia lulus. Ini dalah berkat usaha kerasnya sendiri. Bahkan ia tidak ingin merepotkan keluarganya.
Lain lagi dengan Ardi. Selain dari keluarga yang tidak mampu. Acap kali keberuntungan menemaninya. Termasuk bisa bersama-sama studi di Mesir bareng Fahmi. Memang sih Ardi adalah anak yang sangat cerdas, ini semua berkat kekuatan semangatnya untuk membahagiakan keluarganya. Melalui semgat itulah ketekunan dan kegigihanya dalam belajar dapat mendapatkan jerih payah berupa beasiswa. Bahkan tabungan yang ia miliki cukup untuk menghidupinya. Apa lagi setelah ia memenangi perlombaan karya ilmiah remaja sampai tingkat nasional. Hadiah-hadiah yang ia dapatkan ditabungnya. Ia pernah bilang, suatu saat aku ingin belajar yang lebih tinggi. Dan semua terkabulkan.
Berbeda dengan nasibnya si Agus. Orangnya slengean, suka guyon dan canda tawanya sulit di mengerti. Bahkan kalau sudah ngobrol betah sekali. Sampai-sampai yang diajak bicara bisa tertidur. Tapi sungguh manis nasibnya. Aku ingin sedikit bercerita tentang Agus. Namun aku tidak sanggup. Kini ia melanjutkan di pesantren ilmu Qur’an di Malang dan sekaligus menapakan kakinya dibangku kuliah. Apakah kau tahu, sebenarnya di lautan ilmu ada tempat bagi santri yang ingin hafalan Qur’an bahkan sudah ada universitas disana.
Apa boleh buat sejarah membuktikan dirinya. Agus terpaksa menjadi seorang santri lagi di pesantren. Ini semua gara-gara dia terpikat pada salah seorang gadis di pesantren. Orang tua gadis tersebut lebih suka menjodohkan ananknya terhadap anak kolongmerat di desanya. Dari hal inilah cinta Agus melayang terbang bebas. Hatinya teriris, sampai-sampai ia memutuskan untuk mengisi hatinya dengan bahasa Qur’an. Sungguh mulyanya hatimu Gus, semoga diberikan gadis yang lebih dari gadis yang engkau cintai di pesantren dulu.
Aku tertawa sendiri di kamar. Tapi kemana hendak ku labuhkan air mata ini. Jangan engkau keluar, jangan kau basahi pipi-pipiku ini dengan air mata kesedihan. Ku pegang erat bingkai foto tersebut, aku memeluknya erat. Seperti pelukan ketika aku mendaptkan ketiga sahabatku Agus, Fahmi dan Ardi. Semoga jalinan ilmu yang ingin kau sambungkan menjadi bermanfaat dan berguna untuk dirimu, keluarga, masyarakat dan kebaktian negaramu.
Beranjak aku berdiri. Secarik kertas yang telah aku hiasi dengan sebait puisi cinta menatap kearahku. Akupun mengambilnya. Suara jelekku aku lantunkan dibalik jendela. Ingin rasanya mengenang saat-saat membacakan deklamasi dulu di pondok pesantren. Rembulan menyapaku kecut. Ya...rembulan telah bebentuk sabit atau bisa dibilang ini bulan sabit.
Tubuhku ketakutan. Bayang-bayang itu muncul. Bulan sabit serasa tajam ingin memotong leherku. Aku tetap membacakan puisi ini untuk sahabatku. Jangan kau halangi aku untuk membacakannya, bilangku kepada rembulan. Dengan santai dan perlahan suaraku mulai keluar, nyanyian angin malam, jangkrik dan nyamuk-nyamuk nakal menjadi pendengar setiaku.
Hampir kurang sepuluh menit aku duduk diatas jendela kamar. Kaki-kaki ini mendadak minta turun. Tanganyapun ikut-ikutan memegang jendela. Bahkan tangan ini mengambil sesuatau. Ternyata tangan ini ingin memegang gelas yang aku taruh disamping komputer. Bahkan tangan itu menaruhakan gelas ke atas, akupun mengangah lebar. Mulutku menikmati satu sampai sepuluh tegukkan air susu yang dibuat oleh adikku tersayang.
Sehabis minum aku rebahkan tubuh ini kedalam kasur. Sebelumnya aku bersihkan kertas-kertas yang berserakan. Tubuhku terasa kaku, kumemeluk bantal guling. Pikiran ini tetap terbayang pelukan manis persahabatan.
Aku tidak tahu apakah ini merupakan hukum sejarah yang digariskan oleh allah kepada diriku dan tentunya untuk mereka pula. Aku percaya sesuatu yang kita anggap mudah, terkadang menyulitkan. Dan sesuatu yang terkadang sulit tapi itu sungguh sangat mudah.
Sahabat....untukmu sahabat
Virusmu telah menjalar keseluruh tubuhku
Balik jungkir tubuhku dikasur menandakan aku tidak bisa tidur. Aku masih mengingat mereka. Bahkan malam ini terasa ramai akan kehadiran bayangmu.
Sebait puisi untuk sahabat ”dimanakah kau sahabat”. Aku ingin tidur pada mimpi-mimpi kalian. Selamat malam, semoga mimpi indah kita dipersatukan.
* * *
Lemas otot-otot rasanya tulang ini ingin remuk saja. Ringkih tubuh yang baru setengah tahun berpisah mensiratkan slekta rindu penuh makna yang membias dari sanubariku. Jari jemari masih lentik menari lincah diantara tombol-tombol. Tiada yang berubah sejak saat aku berpisah dengan mereka. Hingga sekarang makota hitam panjang sangat cantik menghiasinya. Ya...rambutku sekarang lumayan panjang lebat. Tidak seperti dulu, karena kalau dipesantren dan sekolah apa lagi umur kita yang baru remaja rambut itu tidak boleh panjang.
Mulut fasih menyulam kata dari bentuk pita sampai bunga, membasahinya dengan sekujur doa-doa. Mulut ini juga pandai merajut untaian kalimat, membalurinya dengan zikir-zikir. Tangan pandai mencari sentuhan hangat, membacakan kalam suci Illahi. Tangan-tangan ini sangat cerdik merengkuh belas kasih. Telapak tangan bergariskan kemudahan dalam menuntun kita bersama melalui rintangan masalah. Tangan ini biasanya meneriakan perjuangan. Namun tidak seperti biasa tangan ini hanya terdiam.
Sahabat...
Apakah saat ini engkau juga berubah..?
Sebuah metamorforsa yang dimiliki setiap manusia
Sejak kita dipesantren, betapa kenyamanan ibadah tidak henti-hentinya mengalirkan kasih kebajikan. Hingga kerelaan, ketulusan, keikhlasan dan kesabaran menyusuri setiap helai benang sulaman. Bahkan bisa di bilang kita bertahan dan menyerang berperang di jalan Allah. Subhanallah....sungguh sangat memikat.
Aku hanya bisa terbangun dan mengambil air putih di dapur. Meminumnya dengan rasa puas, tidak seperti dulu kita minum dengan air yang belum di masyak. Semenjak di rumah semuanya berubah. Biasanya habis tidur langsung mengambil air untuk mandi, kini hanya mengambil air untuk membasahi mulut. Baru kemarin wudhu memutihkan terangnya wajah. Semua ada yang lain. Apakah aku hanyut dengan budaya yang sudah tidak ramah.
Kalam suci memoles seluruh ruangan kamar. Bahkan masjid-masjid kewibawaan dan majlis kebajikan. Polesan itu tidak terdengar lagi, hanya gemuruh lalu lalang kendaraan. Setiap kicau burung ada isyarat di pagi hari. Begitu juga embun mengores daun-daun hijau disekitarnya. Namun, goresan itu tidak lagi diselimuti untaian ayat suci Al-Qur’an, zikir dan tasbih
Aku sapu lantai-lantai kotor yang di olesi debu-debu. Hari pagi yang cerah, tapi tidak secerah hatiku. Aku masih mengingat kalian dengan sesuatu perbedaan. Maafkan aku sobat.
”Lik, sarapannya kok belum dimakan. Cepat sini makan dulu, ntar sakit perutmu kambuh lagi”, terdengar suara ibu dari balik kamarku. Mungkin ibuku masih sibuk didapur. Mempersipkan segala sesuatau untuk kedua anak tercintanya.
”Ya bu, bentar lagi. Ini masuh nanggung”. Aku masih merapikan kamar, memang malam itu banyak tugas yang aku kerjakan. Apa lagi tugas kuliah yang semakin menumpuk. Satu-persatu bingkai foto yang aku copot dari dinding, aku kembalikan seperti semula. Album-album foto juga ikut aku masukan kedalam almari. Kertas-kertas yang masih tercecer dan membentuk tumpukan di meja aku rapikan dalam map rak buku. Mendadak kaki ini melangkah keluar.
”Luna, dimana bu kok ngak kelihatan”, dia adalah adiku satu-satunya. Baru menginjak kelas satu madrasah aliyah. Kita hanya berjarak tiga tahun. Jadi dulu waktu aku lulus dari pesantren, adikku juga lulus tsanawiyah. Namun dia tidak di pesantren, hanya menemani ibuku di rumah.
”Pagi-pagi sudah berangkat ke sekolah. Kamu sih dari tadi molor terus dikamar, sampai ngak tahu adikmu berangkat sekolah. Makanya kalau tidur itu jangan malam-malam. Jadi bangunya ngak kesiangan seperti itu”.
”Iya...bu! Banyak tugas kuliah yang harus aku kerjakan”.
”Banyak tugas. Atau emang dasarnya kamu yang malas”. Ibuku semakin menyudutkan aku. Aku tidak bisa ngeles lagi.
Makanan itu aku lahap dengan kepuasan. Hingga sampai lupa tidak memanjatkan doa sebelum makan. Ah....dasar si Malik. Lima menit sudah aku dihadapan meja makan menikmati hidangan masyakan ibu yang sangat lezat. Rasanya perut ini kenyang sekali.
”Bu, ntar aku buatin kopi. Taruh di kamarku ya”. Handuk telah siap dipundak. Menuju kamar mandi. Guyuran air kesegaran melemaskan otot-otot tubuh yang kaku. Olesan sabun yang harum meyelusur ke seluruh kulit-kulit tipis. Aku merasakan kesegaranku kembali lagi.
Beranjak aku sudah selesai mandi. Aku mengambil pakaian didalam almari, celana jeans dan kaos pendek menghiasiku. Tampak kopi dan gorengan ketela telah ada di meja kamar. Ternyata ibuku sudah mempersiapkannya. Sepertinya ibu sudah tidak lagi di dapur. Pasti di toko menunggu pembeli datang. Sebenarnya sudah ada dua karyawan yang membantu menjaga toko, namun ibuku tetap gigih untuk ikut berpartisipasi. Sebab ini adalah warisan mendiang ayaku yang ditingalkan.
Kepulan asap rokok keluar dari balik jendela. Seduhan kopi hangat membasahi mulut, nikmat sekali rasanya. Tidak kalah dengan kopi made in Mak Zuni di pesantren. Satu demi satu gorengan ketela hampir aku makan semua. Otakku berkerja kencang mengingatkan aku di pagi hari dulu. Namun pagi hari ini berbeda. Pagi disana pukul enam sedangkan di sini pukul delapan. Sungguh terpaut jauh. Kebiasaan pagi yang tidak pernah ketingal menikmati seduhan kopi dan hisapan rokok.
Sobat, hari ini aku masih menikmatinya. Dengan jam yang berbeda.
Previous Post
Next Post
Related Posts

0 comments: