Ramadhan merupakan bulan kesembilan setiap tahun Qamariah. Pada bulan ini umat muslim baik laki-laki maupun perempuan di wajibkan untuk berpuasa yaitu menekan kehendak perut dan kehendak syahwat. Sebab bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan berkah, rahmat dan magfiroh (ampunan). Pada sisi realitasnya masyarakat menyambut bulan suci tersebut dengan berbagai kegiatan seperti dugderan, songkabala, barikan dan nyadran.
Tradisi monotheistik meyakini bahwa Tuhan tidak diketahui oleh mahluk secara eksistensi, karena tidak ada yang hakiki selain Dzat Maha Hakiki. Oleh sebab itu realitas alam semesta hanya hakiki secara relatif sehingga Realitas-Nya berada jauh di luar pemahaman realitas mahluk.
Maka dalam hal ini tradisi keagamaan merupakan realitas mahluk untuk mengetahui eksistensi Tuhannya. Dalam konteks keagamaan tradisi merupakan warisan turun-menurun yang terus berjalan seiring zaman. Keniscayaan ini perlu sebuah pemahaman, karena tradisi merupakan realitas pemaknaan, sungguh sangat ironi pada keberagamaan yang lebih menekankan kesalihan ritual dari pada kesalehan individu dan kesalihan sosial.
Implikasi dari tradisi keberagamaan seperti itu adalah realitas sosial dan individu yang dihiasi dengan budaya ritualistik, kaya kultur yang bernuansa agama, tetapi miskin dalam nilai-nilai spiritual yang berpihak pada kemanusiaan. Sikap pada era postmodernisme yang bersifat positivistik dan materialistik menyebabkan manusia bersikap tidak wajar sesuai dengan ajaran agama. Hal ini berakibat pada sikap dan perilaku manusia yang bersifat menyimpang seperti; individualistik, konsumerisme, hedonis dan pragmatis. Perilaku tersebut merupakan penjajahan baru yang berakibat pada dekadensi moral, tak heran jika Indonesia mejadi negeri yang kehilangan kemanusiaan sikap korupsi dan menindas yang lemah menjadi tradisi keberagamaan.
Karena itu, tradisi keberagaman bukan hanya bersifat ritualistik akan tetapi menyakup beberapa kesalehan dalam bermasyarakat. Dalam konteks ini maka tradisi nyadran bukan sekedar ritualistic, akan tetapi merupakan ekspresi kesalehan individual dan sosial keberagamaan.
Tradisi nyadran
Bagi masyarakat Jawa dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, Syaban atau Ruwah merefleksikannya dengan tradisi nyadran. Istilah nyadran memiliki makna yang begitu dalam yang mengisyaratkan kegiatan manusia untuk lebih dekat dengan Tuhannya. Secara tekstual nyadran atau sadranan berasal dari kata Sraddha yang memiliki makna mengunjungi makam leluhur untuk membersihkan makam, menabur bunga dan mendoakan serta mengabari akan datangnya bulan suci.
Nyadran merupakan ekspresi kultural keagamaan berbentuk ziarah kubur yang memiliki kesamaan didalam ritual dan obyeknya. Tradisi keberagamaan merupakan warisan turun menurun, dalam sejarahnya nyadran telah dilakukan sejak zaman Majapahit. Menurut Zoetmulder dalam bukunya yang berjudul Kalangwan tradisi nyadran pernah dilaksanakan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi pada tahun 1352. Semenjak kedatangan agama Islan di tanah Jawa, tradsi nyadran tetap menjadi suatu tradisi yang turun menurun, namun oleh Sunan Kalijaga dikemas dalam nuansa Islami dan suasana silatuhrahmi.
Tradisi nyadaran pada masyarakat memiliki keberagaman yang dilakasanakan dengan berbagai cara yang berbeda. Dalam konteks kemasyarakatan nyadaran merupakan simbol refleksi atas rasa syukur menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Keberagaman penyambutan tersebut hanya bersifat komunal dalam artian masyarakat bisa menentukan kapan akan pergi berziarah ke makam leluhur. Namun refleksi tersebut juga dapat diselengarakan secara bersamaan di masyarakat dengan membuat tumpeng yang kemudian dibawa ke masjid dan kemudian mengadakan tahlilan beserta doa keselamatan menyambut kedatangan bulan suci tersebut.
Tradisi nyadaran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama dan Dzat yang maha kuasa. Tradisi ini telah menjadi ajaran keberagamaan yang di yakini yaitu mempersatukan warisan budaya lokal dengan ajaran Islam, sehingga terjalin hubungan dua eksistensi lokalitas dan ajaran agama Islam.
Kalau ditelusuri ritual tersebut memiliki berbagai macam kegiatan diantaranya doa keselamatan, pembacaan shalawat nabi, tahlilan ziarah kubur dan tumpengan. Nyadran bisa dikatakan hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang dilaksanakan sesuai dengan tradisi manyarakat. Hal ini mengisyaratkan adanya kekuatan lokalitas yang kental dalam tradisi masyarakat Indonesia, maka tradisi tersebut perlu dilestarikan sebab terkadang masyarakat modern telah banyak lupa akan nilai-nilai tradisi nyadaran.
Oleh karena itu, dalam tradisi nyadaran memiliki hubungan dialektika horizontal dan dialektika vertikal yang menandakan kesalehan ritul, individu dan sosial. Dalam tradisi nyadaran masyarakat akan semakin tahu makna ritualistik yang kaya akan nilai-nilai pendidikan.
Pendidikan kesalehan
Dalam kehidupan kemasyarakatan tradisi nyadaran dalam menyambut awal bulan Ramadhan telah mengariskan prinsip-prinsip tradisi lokal dan ajaran Islam. Prinsip-prinsip tersebut antara lain rasa ukhuwah, kasih sayang, tolong menolong, amar ma’ruf nahi munkar dan kesamaan bahwa setiap manusia pasti akan kembali kepada sang Khalik. Makna dari prinsip tradisi nyadaran bagi masyarakat Jawa adanya pendidikan kesalehan ritual, individu dan sosial.
Nyadaran dalam menyambut Ramadhan menjadi ajaran kemasyarakatan mengenai solidaritas sosial dan pemaknaan prinsip-prinsip ajaran tentang perilaku kehidupan yang tidak hanya bersifat materialistik, namun kaya akan nilai-nilai spiritualitas. Prinsip nyadaran sebagai bentuk tradisi keberagamaan yang mengajarkan kebaikan kepada sesame, baik yang sudah meningal maupun dengan sesama dan tentunya kepada sang Khalik. Ziarah kubur dan tumpengan mengisyaratkan hubungan Tuhan dengan dunia, dalam pandangan Frithjof Schuon merupakan simbol kesatuan wujud yang menegaskan bahwa karena Tuhan merupakan satu-satunya realitas maka yang ada hanyalah Dia, dan dunia ini pada dasarnya adalah Ilahiyah. Jadi tradisi nyadaran dengan berziarah ke makam leluhur dan tumpengan menegaskan adanya kebenaran esoterik yang hanya dapat dipahami dalam konteks spiritualitas.
Hidup dan mati adalah dialog tanpa akhir dengan Tuhan. Akal, nafsu dan hati merupakan perangkat yang harus digunakan oleh manusia secara selaras dan seimbang. Maka tindakan perilaku hedonis, korupsi dan individualitik dapat lenyap jika manusia memaknai betul nilai-nilai ajaran sebuah tradisi lokal tersebut.
Sebagai sebuah tradisi yang selalu diadakan guna menyambut datangnya bulan Ramadhan sebagai penghias untuk merefleksikan perilaku satu tahun yang lalu, bahwa manusia penuh dosa dan noda yang perlu dibersihkan sebelum ajal menjemput. Tradisi nyadran adalah tindakan kebajikan masyarakat yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan satu sama lain yang diniati ikhlas untuk menyambut bulan suci ramadhan.
Maka dari itu tradisi keberagamaan tersebut dalam konteks sosial dijadikan sebagai medium perekat sosial dan membangun jati diri bangsa. Sebagai sebuah tradisi keberagamaan nyadaran merupakan rekreasi spiritual untuk bersiap-siap dalam mendidik akal, nafsu dan hati. Untuk selanjutnya manusia akan menyadari hubungan dirinya dengan Tuhan. Tradisi keagamaan yang dilakukan masyarakat merupakan cermin awal sebagai sebuah bentuk kesadaran sekaligus pengakuan pasrah kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan mengapai kesejahteraan serta kebahagiaan hidup.
Maka dalam hal ini tradisi keagamaan merupakan realitas mahluk untuk mengetahui eksistensi Tuhannya. Dalam konteks keagamaan tradisi merupakan warisan turun-menurun yang terus berjalan seiring zaman. Keniscayaan ini perlu sebuah pemahaman, karena tradisi merupakan realitas pemaknaan, sungguh sangat ironi pada keberagamaan yang lebih menekankan kesalihan ritual dari pada kesalehan individu dan kesalihan sosial.
Implikasi dari tradisi keberagamaan seperti itu adalah realitas sosial dan individu yang dihiasi dengan budaya ritualistik, kaya kultur yang bernuansa agama, tetapi miskin dalam nilai-nilai spiritual yang berpihak pada kemanusiaan. Sikap pada era postmodernisme yang bersifat positivistik dan materialistik menyebabkan manusia bersikap tidak wajar sesuai dengan ajaran agama. Hal ini berakibat pada sikap dan perilaku manusia yang bersifat menyimpang seperti; individualistik, konsumerisme, hedonis dan pragmatis. Perilaku tersebut merupakan penjajahan baru yang berakibat pada dekadensi moral, tak heran jika Indonesia mejadi negeri yang kehilangan kemanusiaan sikap korupsi dan menindas yang lemah menjadi tradisi keberagamaan.
Karena itu, tradisi keberagaman bukan hanya bersifat ritualistik akan tetapi menyakup beberapa kesalehan dalam bermasyarakat. Dalam konteks ini maka tradisi nyadran bukan sekedar ritualistic, akan tetapi merupakan ekspresi kesalehan individual dan sosial keberagamaan.
Tradisi nyadran
Bagi masyarakat Jawa dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, Syaban atau Ruwah merefleksikannya dengan tradisi nyadran. Istilah nyadran memiliki makna yang begitu dalam yang mengisyaratkan kegiatan manusia untuk lebih dekat dengan Tuhannya. Secara tekstual nyadran atau sadranan berasal dari kata Sraddha yang memiliki makna mengunjungi makam leluhur untuk membersihkan makam, menabur bunga dan mendoakan serta mengabari akan datangnya bulan suci.
Nyadran merupakan ekspresi kultural keagamaan berbentuk ziarah kubur yang memiliki kesamaan didalam ritual dan obyeknya. Tradisi keberagamaan merupakan warisan turun menurun, dalam sejarahnya nyadran telah dilakukan sejak zaman Majapahit. Menurut Zoetmulder dalam bukunya yang berjudul Kalangwan tradisi nyadran pernah dilaksanakan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi pada tahun 1352. Semenjak kedatangan agama Islan di tanah Jawa, tradsi nyadran tetap menjadi suatu tradisi yang turun menurun, namun oleh Sunan Kalijaga dikemas dalam nuansa Islami dan suasana silatuhrahmi.
Tradisi nyadaran pada masyarakat memiliki keberagaman yang dilakasanakan dengan berbagai cara yang berbeda. Dalam konteks kemasyarakatan nyadaran merupakan simbol refleksi atas rasa syukur menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Keberagaman penyambutan tersebut hanya bersifat komunal dalam artian masyarakat bisa menentukan kapan akan pergi berziarah ke makam leluhur. Namun refleksi tersebut juga dapat diselengarakan secara bersamaan di masyarakat dengan membuat tumpeng yang kemudian dibawa ke masjid dan kemudian mengadakan tahlilan beserta doa keselamatan menyambut kedatangan bulan suci tersebut.
Tradisi nyadaran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama dan Dzat yang maha kuasa. Tradisi ini telah menjadi ajaran keberagamaan yang di yakini yaitu mempersatukan warisan budaya lokal dengan ajaran Islam, sehingga terjalin hubungan dua eksistensi lokalitas dan ajaran agama Islam.
Kalau ditelusuri ritual tersebut memiliki berbagai macam kegiatan diantaranya doa keselamatan, pembacaan shalawat nabi, tahlilan ziarah kubur dan tumpengan. Nyadran bisa dikatakan hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang dilaksanakan sesuai dengan tradisi manyarakat. Hal ini mengisyaratkan adanya kekuatan lokalitas yang kental dalam tradisi masyarakat Indonesia, maka tradisi tersebut perlu dilestarikan sebab terkadang masyarakat modern telah banyak lupa akan nilai-nilai tradisi nyadaran.
Oleh karena itu, dalam tradisi nyadaran memiliki hubungan dialektika horizontal dan dialektika vertikal yang menandakan kesalehan ritul, individu dan sosial. Dalam tradisi nyadaran masyarakat akan semakin tahu makna ritualistik yang kaya akan nilai-nilai pendidikan.
Pendidikan kesalehan
Dalam kehidupan kemasyarakatan tradisi nyadaran dalam menyambut awal bulan Ramadhan telah mengariskan prinsip-prinsip tradisi lokal dan ajaran Islam. Prinsip-prinsip tersebut antara lain rasa ukhuwah, kasih sayang, tolong menolong, amar ma’ruf nahi munkar dan kesamaan bahwa setiap manusia pasti akan kembali kepada sang Khalik. Makna dari prinsip tradisi nyadaran bagi masyarakat Jawa adanya pendidikan kesalehan ritual, individu dan sosial.
Nyadaran dalam menyambut Ramadhan menjadi ajaran kemasyarakatan mengenai solidaritas sosial dan pemaknaan prinsip-prinsip ajaran tentang perilaku kehidupan yang tidak hanya bersifat materialistik, namun kaya akan nilai-nilai spiritualitas. Prinsip nyadaran sebagai bentuk tradisi keberagamaan yang mengajarkan kebaikan kepada sesame, baik yang sudah meningal maupun dengan sesama dan tentunya kepada sang Khalik. Ziarah kubur dan tumpengan mengisyaratkan hubungan Tuhan dengan dunia, dalam pandangan Frithjof Schuon merupakan simbol kesatuan wujud yang menegaskan bahwa karena Tuhan merupakan satu-satunya realitas maka yang ada hanyalah Dia, dan dunia ini pada dasarnya adalah Ilahiyah. Jadi tradisi nyadaran dengan berziarah ke makam leluhur dan tumpengan menegaskan adanya kebenaran esoterik yang hanya dapat dipahami dalam konteks spiritualitas.
Hidup dan mati adalah dialog tanpa akhir dengan Tuhan. Akal, nafsu dan hati merupakan perangkat yang harus digunakan oleh manusia secara selaras dan seimbang. Maka tindakan perilaku hedonis, korupsi dan individualitik dapat lenyap jika manusia memaknai betul nilai-nilai ajaran sebuah tradisi lokal tersebut.
Sebagai sebuah tradisi yang selalu diadakan guna menyambut datangnya bulan Ramadhan sebagai penghias untuk merefleksikan perilaku satu tahun yang lalu, bahwa manusia penuh dosa dan noda yang perlu dibersihkan sebelum ajal menjemput. Tradisi nyadran adalah tindakan kebajikan masyarakat yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan satu sama lain yang diniati ikhlas untuk menyambut bulan suci ramadhan.
Maka dari itu tradisi keberagamaan tersebut dalam konteks sosial dijadikan sebagai medium perekat sosial dan membangun jati diri bangsa. Sebagai sebuah tradisi keberagamaan nyadaran merupakan rekreasi spiritual untuk bersiap-siap dalam mendidik akal, nafsu dan hati. Untuk selanjutnya manusia akan menyadari hubungan dirinya dengan Tuhan. Tradisi keagamaan yang dilakukan masyarakat merupakan cermin awal sebagai sebuah bentuk kesadaran sekaligus pengakuan pasrah kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan mengapai kesejahteraan serta kebahagiaan hidup.
0 comments: