Tapi aku masih beruntung karena selama ini tempat yang menjadi rumah
tinggal di kampung belum mengalami kebanjiran, tidak tahu tahun-tahun depan
seiring maraknya pembangunan perumahan dan aliran air yang tidak tau dimana ia
akan bermuara.
Pertanyaan aneh muncul di media, “Banjir disebakan oleh Tuhan dan
curah hujan yang tinggi?” Hal ini mengingatkan aku pada kisah Banjir dan
Perahu Nabi Nuh As.
Seorang filosof eksistensilis J.P Sartre (1905-1980) pernah berkata,
“Tuhan bukan tidak hidup lagi atau tidak ada, Tuhan ada tapi tidak bersama
manusia. Namun pernyataan Sartre ini menuai kritik dari Teolog Yahudi yakni
Martin Buber (1878-1965) yang mengatakan, “Tuhan tidak diam tapi di zaman ini
manusia memang jarang mendengar. Manusia terlalu banyak bicara dan sangat
sedikit merasa.”
Apakah Tuhan patut disalahkan oleh sebab banjir dan beberapa bencana
yang terjadi sekarang ini ataukah seperti kata Martin Buber Bahwa kita terlalu
banyak bicara dan sagat sedikit bicara. Sehingga Tuhan tidak bersama manusia,
sesuai kata J.P Sartre. Ah...dasar manusia, tidak tahu siapa dirinya.
Seharusnya kita sadar diri bahwa kita sebagai manusia merupakan mahluk
mutidimensi, dalam pendekatan ekologis, hakikatnya manusa merupakan makhluk
lingkungan. Dalam artian bahwa dalam melaksanakan perannya sebagai khalifah di
muka bumi manusia memiliki kecenderungan untuk selalu mengerti akan
lingkungannya.
Bahkan agama Islam mengajarkan bentuk ideal manusia dan peran
lingkungan, secara idiologis masyarakat muslim pandai dalam merekayasa
lingkungan namun secara faktual berperilaku ekologis masih sangat rendah. Sebab
memperlakukan lingkungan sebagai aset potensial, alam lingkungan menjadi lahan
eksploitasi dan kepemilikan para kapitalis.
Singkatnya kita belum memiliki rancangan ekologis yang representatif
bermuatan spiritualitas lingkungan, meski tuntutan berperikehidupan berwawasan
lingkungan ataupun kesadaran lingkungan dalam kampanye sangat kuat. Maka krisis lingkungan hidup dan kemanusiaan harus menjadi
pusat perhatian bagi setiap tradisi dan komunitas keagamaan, sekaligus fokus
dalam upaya memahami hakekat spiritualitas
lingkungan dan kedirian kita yang memiliki peran untuk memakmuran bumi.
Kapitalis Vs Kaum Nabi Nuh As
Masihkah kita mengingat kisah Nabi Nuh As,
tak pantas kiranya kita mensalahkan Tuhan dan curah hujan tapi diri kitalah
yang bersalah. Allah sebagai Tuhan yang menjadi sutradara memerintahkan kita
untuk mematuhi segala apa yang diperintahkan serta menjauhi segala yang
dilarang.
“Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’araaf/7: 96)
Al Qur’an juga
menerangkan untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi ini seperti dalam surat
al A’raaf yakni:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ
إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ
الْمُحْسِنِينَ
”Dan janganlah
kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan
berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik”. (Q.S. Al A’raaf/7 : 56).
Pada dasarnya
kerusakan sumber daya alam dan lingkungan itu
disebabkan oleh kelakuan manusia sendiri. Akibatnya sumber daya alam dan pada khususnya energi menjadi barang langka akibat tingkat
interaksi yang berlebihan (over explotation) dan kurang memperlihatkan
aspek berkelanjutan.
Siapa itu Nabi Nuh As?, nama Nuh bukan berasal dari
bahasa Arab, tetapi dari bahasa Syria yang artinya “bersyukur” atau “selalu
berterima kasih”. Dinamakan Nuh karena seringnya dia
menangis, nama aslinya adalah Abdul Ghafar (Hamba dari Yang Maha Pengampun). Geneologi Nuh As adalah nabi ketiga sesudah
Adam, dan Idris. Ia merupakan keturunan kesembilan dari Adam. Ayahnya adalah
Lamik (Lamaka) bin Metusyalih atau Mutawasylah (Matu Salij) bin
Idris bin Yarid bin Mahlail bin Qainan bin Anusyi bin Syits bin Adam. Antara
Adam dan Nuh ada rentang 10 generasi dan selama periode kurang lebih 1642
tahun. Sedangkan menurut kisah dari Taurat nama asli
Nuh adalah Nahm yang kemudian menjadi nama sebuah kota, kuburan Nuh berada di
desa al Waqsyah yang dibangun didaerah Nahm.
Nuh As mendapat gelar dari Allah dengan sebutan Nabi Allah dan Abdussyakur yang
artinya “hamba (Allah) yang banyak bersyukur”.
Ia hidup
sekitar (3993-3043 SM) seorang pejuang anti kapitalis atau rasul yang diceritakan dalam Kitab Taurat, Al-Kitab dan
Al-Qur’an. Nuh As diangkat menjadi Nabi sekitar tahun 3650 SM, diperkirakan
tinggal di wilayah selatan Irak Modern dan bahkan di negeriku Indonesia menggap
Nabi Nuh As berasal dari Jawa Indonesia, sebab kayu-kayu besar dan banyaknya
gunung dan kemakmuran berada di wilayah Nusantara. Menurut Al-Qur'an, ia
memiliki 4 anak laki-laki yaitu Kanʻān, Sem, Ham, dan Yafet. Namun Alkitab
hanya mencatat, ia memiliki 3 anak laki-laki Sem, Ham, dan Yafet. Ia mempunyai
istri bernama Wafilah, sedangkan beberapa sumber mengatakan istri Nuh adalah
Namaha binti Tzila atau Amzurah binti Barakil.
Kisah Nabi Nuh As dan Bahteranya sebenarnya
merupakan perlawanan kaum tertindas dengan kaum kapitalis. Nabi Nuh merupakan
Nabi dan Rasul pertama yang diutus pada suatu kaum yakni kaum Bani Rasib.
Dimana saat itu Nabi Nuh hidup pada masa Raja Dhahhak atau Biyorasih yang
sebelumnya membunuh Raja Jim (Jamsyid), lalu kerajaan mengalami fase suksesi,
kepemimpinan digantikan seorang laki-laki bernama Darmasyil. Darmasyil ini
menjadi sosok penjajah, ia merupakan raja yang kuat perkasa dan menguasai
kekayaan alam, ia menjadi super power penguasa atau kaum kapitalis yang
menguasai kekayaan.
Dalam kelas sosial Kaum Nabi Nuh As terbagi
menjadi 3 (tiga) yakni kelas para raja, kelas bangsawan atau punggawa kerajaan
dan kelas rakyat. Kaum kapitalis menjadi kelasnya para raja dan bangsawan yang
berperan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka kaum kapitalis menipu rakyat
dengan kekuasaan palsu dan menjadikan kelas rakyat sebagai warga yang wajib
mentaati dan tidak boleh menentang kaum kapitalis.
Sedangkan Kaum Nabi Nuh As mewakili kelas
rakyat atau warga yang mengalami ketertindasan. Mereka berada pada posisi yang
sama sekali tidak memiliki the power of bergaining position. Kaum Nabi
Nuh adalah kelas tertindas dan selalu ditindas oleh keinginan dan kepentingan
para raja dan kalangan bangsawan.
Lalu Nuh As diutus Allah menjadi Rasul yang
membawa hakikat ketuhanan dan hakikat kebangkitan, sehingga akar-akar
idiologisasipun terdengar. Akan tetapi pilar idiologi yang dibawa Nabi Nuh As
mengalami perlawanan dari kaum kapitalis sehingga terpecah menjadi dua
kelompok, kelompok pertama diwakili Nabi Nuh As
dan orang-orang lemah yakni para fakir miskin. Sedangkan kelompok kedua
diwakili oleh orang-orang kaya dan para penguasa yang melancarkan serangan
perlawanan terhadap kaum Nabi Nuh As.
Musuh Nabi Nuh As adalah para kaum
kapitalis, mereka mendapatkan sebutan “Al-Mala’” karena mereka berkata
kepada Nabi Nuh As, “Wahai Nabi Nuh As engkau adalah manusia biasa.”
Oleh sebab tidak memiliki bergaining position. Namun demikian Nabi Nuh As
beserta kaumnya terus saja berjuang melakukan perlawanan. Hingga para kapitalis
mulai bosan;
“mereka berkata "Hai Nuh, Sesungguhnya kamu telah berbantah
dengan Kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap Kami, Maka
datangkanlah kepada Kami azab yang kamu ancamkan kepada Kami, jika kamu
Termasuk orang-orang yang benar". Nuh menjawab: "Hanyalah Allah yang
akan mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu sekali-kali
tidak dapat melepaskan diri. dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika
aku hendak memberi nasehat kepada kamu, Sekiranya Allah hendak menyesatkan
kamu, Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan". (QS.
Huud/11: 32-32)
Perlawanan terhadap
Kaum kapitalis mengalami puncaknya hingga Kuam Nabi Nuh As harus Hijrah dengan
membuat bahtera. Inilah banjir lokal untuk kaum nabi Nuh As, bukan banjir
global. Tapi ini adalah perlawanan antara kaum kapitalis dengan kaum yang
mengalami ketertindasan.
“dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu
Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim
itu; Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” (QS. Huud/11: 37)
Marilah kita intropeksi
diri, apakah bencana alam yang terjadi ini merupakan azab dari Allah ataukah
ini menjadi peringatan untuk kita, bahwa diri kitalah yang bersalah dan diri
ini terlalu jauh berkomunikasi dengan Tuhan.
22/01/14
0 comments: