Friday, November 7, 2014

Jengis Khan; Sang Penakluk

Memo untuk Presiden di Rumah Budaya Kalimasada Blitar
SETIAP BANGSA lahir dan akan mengukir perjalanannya sendiri. Salah satunya bangsa Mongol, menjadi bagian sejarah perjalanan dunia yang dijadikan hikmah, terutama sosok Jengis Khan. Bangsa Mongol muncul pada akhir abad ke-12. Bangsa dengan cara hidupnya yang nomaden, bangsa yang juga dipengaruhi oleh kebudayaan bangsa Tibet, Tibetan Budhism, Cina dan Rusia. Menempati daerah antara gurun pasir Gobi dan danau Baikal, yang terkurung daratan di Asia TImur dan berbatasan dengan Rusia.

Mereka hidup sebagai pengembara dan di perkemahan, memiliki kehidupan cara bar-bar, tidak mengenal kebersihan dan memakan semua binatang. Persis dengan bangsa arab, Mongol menganut pahan tribalisme (kesukuan) yang kental, sangat menjunjung tinggi kepada suku. Sejarawan arab menyebut mereka dengan orang tartar, memang demikianlah orang-orang Mongol ini memang satu rumpun dengan bangsa tartar.

Namun siapa sangka Bangsa Mongol menjadi bangsa yang disegani dan mampu menundukan Negara lain. Tidak lain adalah sosok Temujin yang kemudian dikenal dengan nama Jengis Khan. Khan yang berarti dari segala galanya dan Jengis adalah karena ia mampu menyatukan rakyat mongol. Namun menukil dari bahasa Alataic, jengis khan itu memiliki arti Penguasa Dunia.

Ketika Jengis Khan menjadi pemimpin, banyak system pemerintahannya dirubah, ia belajar dari masa lalu yang selalu gagal dalam membangun bangsa. Sebab dahulu posisi jabatan pemerintahan tidak berdasarkan dengan kemampuan kepemimpinan, tapi karena diwariskan secara hierarki dari suku. Sehingga Bangsa Mongol sering mengalami perpecahan kelompok antar suku.

Kiai Cungkring jadi ingat kata-kata Soekarno, ia pernah berkata, “Jasmerah” jangan sekali-kali melupakan sejarah. Bangsa ini perlu belajar sosok kepemimpinan pada masa lalu, jangan memandang siapa orangnya, status maupun strata sosialnya. Seungguhnya silih bergantinya malam dan siang ada tanda-tanda bagi orang yang berfikir.

Bangsa Indonesia adalah bangsa Nuswantara yang memiliki kesejarahan yang beradab, saatnya kita bangkit untuk Indonesia yang lebih beradab.

Lalu Kiai Cungkring bertutur:
“Jangan sampai ular lebih rakus darimu. Ia mampu menahan laparnya, sedang kamu rakus terhadap dunia dan saling rebut kuasa.”

Sciena Madani – 07/11/2014
Previous Post
Next Post
Related Posts

0 comments: