Terbit di Suara Merdeka
20 September 2010
ADA sebuah kisah yang perlu kita teladani, sebut saja namanya Fatimah. Kini ia
tinggal di kota bersama suaminya. Kehidupan rumah tangganya sangat harmonis,
wanita cekatan dan suka silatuhrahmi dengan keluargannya di desa apa lagi saat
lebaran tiba. Tapi kehidupan Fatimah berubah drastis, saat dia mengenal
teknologi. Dulu ia tidak pernah menggunakan Hp, internet maupun gadget. Lain
dulu lain sekarang, ia bebas menikmati perkembagan teknologi tersebut, karena mudah
mendapatkannya di kota.
Gadis
desa yang sangat polos sekarang ini menikmati perkembagan peradaban umat
manusia. Kesibukannya sekarang tidak lagi hanya mengurusi rumah tangga namun
juga berselancar di dunia maya, update status facebook dan menjawab sms atau telpon. Begitu juga dengan anak-anaknya yang
asyik dengan permainan play station. Kesibukannya membuat ia stres, depresi dan
hubungan dengan familly di desa tidak lagi seperti dulu. Ia cukup menelepon atau
sekedar sms saja.
Sungguh
di era globalisasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
membawa manusia dalam kemudahan. Ilmu pengetahuan dan teknologi dipersiapkan
sesuai dengan fitrah manusia artinya memenuhi dorongan asasi manusia yaitu
keingintahuan (curiosity) terhadap segala sesuatu (realitas).
Namun hal tersebut menjadi berbalik, kini manusia telah dikuasai kemajuan
teknologi. Mereka sekarang menjadi budak teknologi dengan berbagai gadget tanpa
daya.
Banyak
karyawan di PHK sebab malamnya ia sibuk dengan meng-update status facebook dan
twitter, sehingga saat kerja sering datang terlambat. Begitu juga dengan
peredaran video mesum yang mudah diunduh di internet, sehingga menyebabkan
banyak kasus seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, perdagangan anak dan lain
sebagainya.
Perilaku
kehidupan pada era informasi ini juga telah merambah kehidupan personal umat
manusia. Sehingga memunculkan gejala-gejala seperti maraknya kasus-kasus
perceraian, pengunaan obat-obat terlarang, depresi, psikopat, skizofrenia dan
bunuh diri. Dalam pandangan Frijof Capra hal tersebut sebagai bentuk “penyakit-penyakit
peradaban”. Ternyata perkembangan
sains dan teknologi yang spektakuler pada abad ke-20 tidak selalu berkorelasi
positif dengan kesejahteraan umat manusia.
Problem
mendasar yang dialami manusia di zaman modern saat sini biasa disebut dengan
alienasi dan reifikasi. Menurut Erich Fromm alienasi adalah sebuah penyakit
mental yang ditandai oleh perasaan keterasingan dan segala sesuatu; sesama
manusia, alam, Tuhan, dan jati dirinya sendiri.
Hal
ini terkait dengan gejala reifikasi (pembendaan objektivikasi) bahwa
manusia modern menghayati dirinya sendiri sebagai benda, obyek; yang pada
gilirannya, duniapun hanya dianggap sebagai kumpulan fakta-fakta kosong (tanpa
makna dan nilai). Dunia yang direifikasi telah menjadi dunia yang tidak
manusiawi. Praktik-praktik konsumerisme, hedonisme sebagai sebab alienasi
manusia atas bahaya laten globalisasi atas mudahnya mendapat informasi dan
teknologi.
Persoalan krisis
global semakin kompleks dan multidimensional tidak saja dialami manusia namun
berimbas pada salah satu masalah serius yakni kerusakan ekologi atau lingkungan
hidup. Menjadi isu global yang melibatkan cara pandang manusia modern terhadap
alam. Alam telah dipandang
sebagai sesuatu yang harus digunakan dan dinikmati semaksimal mungkin. Memang
dominasi terhadap alamlah yang menyebabkan masalah bencana, lahan semakin
sempit, kurangnya ruang bernafas, kemacetan kehidupan kota, pengurasan jenis
sumber alam, hancurnya keindahan alam.
Paradigma yang membebaskan
Perilaku umat
manusia dengan perkembangan gadget dan eksploitasi terhadap alam ini disebabkan
oleh konsepsi materialistik tentang dirinya dan alam yang didukung dengan nafsu
dan ketamakan yang semakin banyak menuntut kebutuhan hidup. Semua ini dalam
pandangan filosofis akibat dari cara pandang yang dualistik-mekanistik dan
materialistik. Cara pandang ini menyebabkan terjadinya dikotomik atau
diversitas (pembedaan) seperti; subyek-obyek, manusia-alam, manusia-Tuhan,
suci-sekuler, timur-barat.
Cara pandang
dikotomik ini menyebabkan tidak harmonis antara manusia, Tuhan, dan alam yang
telah dihancurkan. Semua ini terkait dengan ketidakseimbangan yang disebabkan
oleh hancurnya harmoni antara Tuhan dan manusia. Positivisme
ilmu menempatkan paradigma Cartesian-Newtonian yang memperlakukan manusia dan
sistem sosial seperti mesin besar yang diatur menurut hukum-hukum objektif,
mekanis, dan materialistik.
Dari
paradigma tersebut menuntut pembahasan tentang konsepsi manusia seutuhnya dan
dampak krisis ekologis ke dalam pandangan dunia baru. Sebagai sebuah skenario
proyek penyelamatan umat manusia dan ekosistem dengan mengajukan paradigma yang
mampu memanusiakan manusia dengan teknologi dan alam.
Cara
pandang yang menempatkan teknologi sebagai obyek bukan subyek, sebab manusia
telah menjadi korban (obyek) dari
teknologi dan pembelajaran kesadaran lingkungan yang sekarang ini telah menjadi
isu internasional yakni masalah global
warming. Hal ini merupakan sebuah keyakinan bahwa manusialah yang menjadi
standar segala sesuatu.
Kebenaran atau kesalahan ditentukan manusia, manusia adalah pusat atau
pengendali alam yang dapat menentukan nasibnya sendiri.
Dengan demikian
dalam cara pandang ini bahwa manusia bebas untuk menikmati berbagai macam
perkembangan teknologi dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
bergantung kepada alam. Akan tetapi manusia terikat dengan adanya konskwensi
logis berupa baik-buruknya yakni terhadap dirinya, manusia laninnya, alam
semesta dan Tuhan.
Maka kita harus
bijak dalam menggunakan teknologi dan memanfaatkan alam ini. Sebab manusia
merupakan subyek yang harus menjaga dan memakmurkan bumi, bukannya merusak
atapun menghancurkannya. Sejatinya manusia adalah khalifah atau pemimpin dibumi
yang mengemban amanah untuk menjaga kesetabilan lingkungan dan tentunya
hubungan dengan Tuhan. Ketika dirinya rusak maka rusak pula hunbugannya dengan
sang khalik, berbuatlah bijak terhadap apa yang telah dikaruniakan kepada kita.
Menggunkan dan memanfaatkan segala sesuatu sesuai dengan kebutuhan dan
keperluan.
0 comments: